facing side is my favorite position when photographed

Kamis, 24 Februari 2011

PAGI DI STASIUN TUGU


       (Adaptasi Naskah Pagi Bening Karya Serafin & Joaquin Alvarez Quintero)
Diadaptasi kembali oleh Arie Tursino Hadi

BEL BERBUNYI TANDA KERETA API KE JAKARTA AKAN SEGERA BERANGKAT. EYANG IRMA BERJALAN SEDIKIT TERGESA DI DEPAN, SEMENTARA KEMALA, PENGASUHNYA, BERJALAN DI BELAKANGNYA DENGAN MEMBAWA TASNYA YANG BESAR.
EYANG IRMA             : Kemala, ayo! Berjalan agak cepat sedikit! Aku tidak mau kalau cucuku sudah sampai di sini sebelum aku menjemputnya.
KEMALA                    : (KELELAHAN) Tapi Eyang, keretanya baru sampai sekitar satu jam lagi.
EYANG IRMA             : Itu kan jadwal. Jadwal kereta di sini suka tidak menentu, jarang tepat waktu. Siapa tahu kali ini keretanya tiba lebih cepat.
KEMALA MENUNJUKKAN MUKA CEMBERUT, SEMENTARA EYANG IRMA MENENGOK KE SEKELILING, MENCARI TEMPAT YANG BISA IA DUDUKI.
EYANG IRMA             : (BERHASIL MELIHAT TEMPAT DUDUKNYA) Nah, duduk di sana saja! (DUDUK DI TEMPAT DUDUK) Ah, perjalanan kali ini membuatku lebih letih dari biasanya. (MELIHAT IRMA YANG NAMPAK TIDAK SABAR) Pergilah kalau kamu ingin ngobrol dengan sopirmu itu!
KEMALA                    : Dia bukan sopir saya, Eyang. Dia sopir keluarga Atmomiharjo.
EYANG IRMA             : Dia lebih tepat disebut milikmu, daripada milik keluarga Atmomiharjo. (TERSENYUM) Sudah sana, temui saja dia. Tapi jangan terlalu jauh sampai-sampai kalian tak mendengar panggilanku.
KEMALA                    : Aku sudah tahu di mana dia menunggu saya. Mungkin kami akan duduk-duduk di kantin saja.
EYANG IRMA             : Sana pergi, tapi jangan terlalu lama, ya!
KEMALA                    : Baik, Eyang. (BERJALAN KE KANAN)
EYANG IRMA             : Hei, tunggu dulu.
KEMALA                    : Ada apa, Eyang?
EYANG IRMA             : Taruh saja tasnya di sini. Apa kau juga ingin mengajak tas itu berdiskusi dengan sopirmu?
KEMALA                    : Ah, pelupa benar aku ini!
EYANG IRMA             : (SENYUM) Aku tahu! Pikiranmu sudah lekat ke sana—sopir tampanmu itu!
KEMALA                    : Ini, Eyang. (MELETAKKAN TAS BESARNYA DI SAMPING EYANG IRMA)
EYANG IRMA             : Jangan lama-lama! (MEMANDANG KE KANAN KE ARAH LANGKAH PERGI KEMALA) Ah, sudah lama benar aku tidak melihat cucu-cucuku yang mungil. Hari ini mereka datang dari Jakarta. Kata anakku, untuk satu minggu ke depan mereka dititipkan padaku karena anakku—yang satu-satunya ini, mendapat tugas dinas ke luar negeri. Aku sudah menyiapkan beberapa oleh-oleh penyambutan untuk mereka. (MENGELUARKAN BEBERAPA BARANG DARI DALAM TASNYA) Mobil-mobilan ini untuk Bobby yang tampan. Walaupun dia sedikit bandel, tapi dia anak yang pintar. Cita-citanya kalau sudah besar nanti menjadi pembalap, katanya. Katanya lagi, dia ingin menjajal semua jalan raya di seluruh dunia dengan mobil tercepat. (MENGAMBIL BONEKA) Lalu, boneka ini untuk Ranti, si manis yang paling kecil. Walaupun masih kecil, kata ibunya, ia punya banyak sekali koleksi boneka. Aku harap boneka ini belum ada di daftar koleksinya. (MELETAKKAN MOBIL MAINAN DAN BONEKA DI SAMPING TAS BESARNYA) Ah, pagi yang cerah. Walaupun matahari agak panas hari ini.
KAKEK MITRO MASUK DENGAN PUTRA DARI KIRI. KAKEK MITRO MENGENAKAN TONGKAT SEBAGAI PENYANGGA JALANNYA, SEMENTARA PUTRA MEMBAWA TAS RANSEL BESAR DI PUNGGUNG SAMBIL MEMAINKAN GAMEBOY DI TANGANNYA.
KAKEK MITRO           : Sudah Kakek katakan, kalau bangun harus lebih pagi! Kan jadi tidak terlambat seperti sekarang! Terpaksa tiket kereta kita harus ditukar dengan kereta yang lain.
PUTRA                       : (MELIHAT SEKELILING) Duduk di sini saja, Kek. Hanya ada seorang nenek.
EYANG IRMA MENENGOK DAN MENDENGARKAN.
KAKEK MITRO           : Tidak, Putra. Kakek mau tersendiri.
PUTRA                       : Tapi tidak ada.
KAKEK MITRO           : Tiga tahun yang lalu aku kan duduk di sana!
PUTRA                       : (MELIHAT KE ARAH YANG DITUNJUKKAN KAKEK MITRO) Sudah penuh. Ada ibu dan anak-anaknya duduk di sana.
KAKEK MITRO           : Singkirkan saja mereka! (PUTRA BERJALAN KE ARAH KIRI. TIDAK LAMA MASUK KEMBALI) Sudah pergi?
PUTRA                       : Tentu saja belum! Barang bawaan dan tas mereka banyak.
KAKEK MITRO           : Seperti melekat di bangku saja mereka! Hh. Tak ada harapan lagi. Ayo cari tempat lain.
KAKEK MITRO BERJALAN KE ARAH KANAN. PUTRA MENGIKUTI DARI BELAKANG.
EYANG IRMA             : (KAKINYA TERINJAK TONGKAT KAKEK MITRO, MARAH) Hei, Pak! Lihat-lihat kalau jalan!
KAKEK MITRO           : Apa Nyonya berbicara dengan saya?
EYANG IRMA             : Iya, dengan Tuan!
KAKEK MITRO           : Ada apa?
EYANG IRMA             : Tongkat Tuan menginjak kaki saya!
KAKEK MITRO           : Peduli apa dengan kaki Nyonya!
EYANG IRMA             : Apa? Ha?
KAKEK MITRO           : Ini tempat umum, Nyonya.
EYANG IRMA             : Tapi kenapa Nyonya tadi berusaha mengusir orang yang duduk di sana?
KAKEK MITRO           : Maaf Nyonya, tapi kita belum pernah jumpa! Dan kenapa tadi Nyonya menegur saya! Putra, ayo. (MELANGKAH KE KANAN)
EYANG IRMA             : Buruk amat perangai Tuan itu! Kenapa orang harus jadi tolol dan pandir kalau sudah meningkat jadi tua? (MELIHAT KE KANAN) Syukur! Ia tidak mendapat bangku! Itu orang yang menginjak kakiku dengan tongkatnya. Ha, dia marah-marah. Ya, ayo carilah bangku sampai kau dapat! Aduh, kasihan, ia menyeka keringat di dahi. Nah, itu dia kemari lagi.
KAKEK MITRO DAN PUTRA MASUK.
KAKEK MITRO           : Apa sudah pergi orang-orang yang duduk di sana, Putra?
PUTRA                       : Tentu saja belum, Kek!
KAKEK MITRO           : Kepala Stasiun seharusnya menaruh lebih banyak lagi bangku di sini. Masa veteran perang seperti aku harus duduk berdesak-desakkan dengan orang biasa. Terpaksa juga aku kini duduk bersama wanita tua itu! (ia duduk di ujung bangku, memandang dengan iri kepada EYANG IRMA, dan memberi hormat dengan mengangkat topi) Selamat pagi.
EYANG IRMA             : Jadi Tuan di sini lagi?
KAKEK MITRO           : Kuulang lagi, kita kan belum pernah jumpa!
EYANG IRMA             : Saya toh hanya membalas salam Tuan!
KAKEK MITRO           : “Selamat pagi” mestinya dibalas dengan “selamat pagi” saja!
EYANG IRMA             : Tapi Tuan seharusnya juga minta ijin untuk duduk di bangku saya.
KAKEK MITRO           : Ahai, bangku ini kan milik umum!
EYANG IRMA             : Tapi Tuan seharusnya juga minta ijin untuk duduk di bangku saya!
KAKEK MITRO           : Baik, baik! Sekian sajalah. (PADA DIRINYA SENDIRI) Dasar perempuan tua! Patutnya dia di rumah saja, merenda atau menghitung tasbih.
EYANG IRMA             : Jangan mengoceh lagi. Saya toh juga tidak akan pergi untuk sekedar menyenangkan hati Tuan!
KAKEK MITRO           : (BERBICARA SENDIRI, MENGELAP SEPATU DENGAN SAPUTANGAN) Kalau jalanan di depan disiram air sedikit, tentu lebih baik! Tak berdebu jadinya.
EYANG IRMA             : Apa Tuan biasa menggunakan saputangan sebagai lap?
KAKEK MITRO           : Kenapa tidak? (MENGELAPKAN SAPUTANGAN KE WAJAHNYA)
EYANG IRMA             : Apa Tuan juga menggunakan lap sebagai saputangan?
KAKEK MITRO           : Maaf, Tuan kan tidak punya hak untuk mengkritik saya.
EYANG IRMA             : Toh sekarang saya ini tetangga Tuan!
KAKEK MITRO           : Putra! Buku! Bosan aku mendengarkan omongan non-sense macam itu!
EYANG IRMA             : Alangkah sopan satun Tuan ini!
KAKEK MITRO           : Maaf saja. Tapi saya mengharap Ibu tidak bernafsu campur tangan urusan orang lain.
EYANG IRMA             : Saya memang biasa melahirkan pikiran-pikiran saya.
KAKEK MITRO           : Huh. Putra! Buku!
PUTRA                       : Ini, Kek. (MENGAMBIL BUKU DARI DALAM TASNYA)
KAKEK MITRO MEMANDANG DENGKI EYANG IRMA, MENGELUARKAN KACA PEMBESAR DAN KACAMATA, MEMBUKA BUKU.
EYANG IRMA             : Oh, saya kira Tuan mengeluarkan teropong bintang.
KAKEK MITRO           : Nyonya bicara lagi.
EYANG IRMA             : Tentunya penglihatan Tuan masih baik sekali!
KAKEK MITRO           : Jauh lebih baik dari pada penglihatan Nyonya sendiri!
EYANG IRMA             : Ahai, tentu saja.
KAKEK MITRO           : Kalau tidak percaya, tanyakan pada burung-burang dan rusa-rusa di hutan.
EYANG IRMA             : Artinya Tuan suka berburu burung dan rusa?
KAKEK MITRO           : Saya pemburu memang. Dan saya sekarang tengah berburu.
EYANG IRMA             : Ya, tentunya! Begitulah!
KAKEK MITRO           : Ya. Tiap tahun saya menyandang bedhil bersama anak saya. Saya pergi ke Ujung Kulon. Iseng-iseng berburu, membunuh waktu!
EYANG IRMA             : Ya, membunuh waktu! Apa hanya waktu saja yang bisa Tuan bunuh?
KAKEK MITRO           : Nyonya kira begitu? Saya bisa menunjukkan kepala babi hutan besar di kamar saya!
EYANG IRMA             : Dan saya pun bisa menunjukkan kepala singa di kamar tamu saya meskipun saya bukan pemburu.
KAKEK MITRO           : Sudahlah, Nyonya... sudah! Saya mau membaca. Percakapan cukup! Ngomong putus!
EYANG IRMA             : Ha, Tuan menyerah!
KAKEK MITRO           : Tapi saya mau ambil minyak angin dulu. (MENGELUARKAN MINYAK ANGIN DARI KANTONGNYA) Nyonya, mau? (MEMBERIKAN OBAT ITU)
EYANG IRMA             : Kalau cocok.
KAKEK MITRO           : Ini nomor satu! Nyonya pasti suka!
EYANG IRMA             : Memang biasanya menghilangkan pusing dan masuk angin.
KAKEK MITRO           : Saya pun begitu.
EYANG IRMA             : Nyonya suka menggosokkannya di perut dan punggung?
KAKEK MITRO           : Ya, kalau cuaca sedang dingin.
EYANG IRMA             : Persis sama dengan saya!
SETELAH ITU MENARUH MINYAK ANGIN PADA SAPUTANGAN, MENGIRUP DENGAN HIDUNG, LALU MENGHEMBUSKANNYA KE UDARA. BERGANTI MASING-MASING TIGA KALI. TERAKHIR PUTRA BERSIN.
PUTRA                       : (MENGGOSOK-GOSOKKAN HIDUNGNYA) Kek, Putra mau cari obat dulu.
KAKEK MITRO           : Sudah sana. Tapi jangan lama-lama.
PUTRA PERGI KE ARAH KIRI
KAKEK MITRO           : Anak jaman sekarang minum obatnya aneh-aneh saja. Dengan minyak angin ini, rasanya badan saya agak enakan sekarang.
EYANG IRMA             : Saya pun merasa enak sekarang. (KE SAMPING) Obat itu telah mendamaikan kami rupanya!
KAKEK MITRO           : Maaf, saya mau membaca keras. Tidak mengganggu kan?
EYANG IRMA             : Silahkan sekeras mungkin, Tuan tidak menggangu saya lagi.
KAKEK MITRO           : (MEMBACA) “Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak.
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.
Tenggelam dalam malam....
Nah, bait itu dari puisi Amir Hamzah
EYANG IRMA             : Ah!
KAKEK MITRO           : (MEMBACA) “Air di atas mendidih keras.
Bumi dibawah menolak ke atas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!
Baris-baris ini sepertinya agak lucu.
EYANG IRMA             : (TERTAWA) Kukira juga begitu.
KAKEK MITRO           : Ada beberapa sajak bagus dalam buku ini. Dengar! (MEMBACA)
Duapuluh tahun berlalu
Ia pun kembalilah...
EYANG IRMA             : Cara Tuan membaca dengan kaca pembesar itu sungguh agak menggelikan saya.
KAKEK MITRO           : Jadi Nyonya bisa membaca tanpa kaca pembesar?
EYANG IRMA             : Tentu saja.
KAKEK MITRO           : Setua itu? Ahai, Nyonya main-main saja!
EYANG IRMA             : Coba saya pinjam buku tuan itu! (mengambil buku dan membacanya keras-keras)
Duapuluh tahun berlalu
Dan ia pun kembalilah
Masing-masing saling memandang,
Berkata :
Mungkinkah dia orangnya?
Ya Allah, di mana orang itu?
KAKEK MITRO           : Hebat! Saya iri hati pada penglihatan Nyonya.
EYANG IRMA             : (KESAMPING) Hmm, saya hafal tiap kata syair itu.
KAKEK MITRO           : Saya gemar sekali puisi-puisi yang bagus. Sungguh gemar sekali. Bahkan ketika masih muda, kadang-kadang suka bersyair.
EYANG IRMA             : Sajak-sajak bagus juga?
KAKEK MITRO           : Ya, macam-macamlah. Saya dulu pernah bertemu dengan Sultan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, sampai Amir Hamzah. Saya pertama kali bertemu dengan Amir Hamzah di Jakarta, sewaktu saya datang ke kantor penerbitan majalah Poedjangga Baroe.
EYANG IRMA             : Eh, Tuan pernah ke Jakarta?
KAKEK MITRO           : Sering juga. Pertama kesana saya waktu umur 13 tahun.
EYANG IRMA             : Tentunya dulu Tuan sering bertemu Bung Karno.
KAKEK MITRO           : (TERTAWA) Yah, tidak seberuntung itu nasibku! Saya sudah tua, tapi belum pernah bertemu Bung Karno serta Bung Hatta! (keduanya tertawa). Saya pernah menjadi anak buah Jendral Sudirman sewaktu masih jadi Panglima Divisi V di Banyumas. Saya warga kota di sana.
EYANG IRMA             : Sungguh?
KAKEK MITRO           : Saya dibesarkan di sana. Dan masa mudaku habis di kota itu. Apa Nyonya pernah ke Banyumas?
EYANG IRMA             : Pernah! Tiada jauh dari Baturaden ada sebuah rumah dan kalau masih berdiri sekarang, bisa mengembalikan kenangan-kenangan yang manis. Saya pernah tinggal beberapa tahun di sana. Tapi sudah lama lampau. Rumah itu dekat pemandian air panas, tersembunyi antara pohon mangga dan cemara. Mereka menyebutnya... ah... lupa.... O ya, Rumah Kemuning.
KAKEK MITRO           : Kemuning?
EYANG IRMA             : Kemuning. Apa Tuan pernah mendengarnya?
KAKEK MITRO           : Tak asing lagi nama itu... Ah, kita tambah tua tambah pelupa... di rumah itu dulu ada seorang wanita paling cantik yang pernah saya lihat dan saya kenal. Dan namanya... O ya, Irmayanti Atmomihajo!
EYANG IRMA             : (KAGET) Irmayanti Atmomiharjo?
KAKEK MITRO           : Benar (mereka saling tatap)
SUARA BEL BERBUNYI. TIDAK LAMA KERETA LEWAT. KEDUANYA MELIHAT KEDATANGAN KERETA TERSEBUT. NAMUN KERETA INI TIDAK BERHENTI.
EYANG IRMA             : (sadar lagi) Ah, tak apa-apa, hanya mengingatkan saya pada teman karib saya.
KAKEK MITRO           : Aneh juga.
EYANG IRMA             : Memang aneh! Dia diberi sebutan “Kembang Roro Ireng
KAKEK MITRO           : Tepat, “Kembang Roro Ireng.” Nama itulah yang terkenal di sana. Sekarang saya seperti melihatnya kembali di jendela di antara kembang mawar merah itu. Nyonya ingat jendela itu?
EYANG IRMA             : Ya, saya ingat itulah jendela kamarnya.
KAKEK MITRO           : Dulu dia suka berjam-jam di jendela.
EYANG IRMA             : (MELAMUN) Ya, memang dulu dia suka begitu.
KAKEK MITRO           : Dia gadis ideal. Manis bagai bunga kamboja. Rambutnya hitam. Sungguh mengesankan sekali! Mengesankan sampai kapan saja. Tubuhnya ramping sempurna. Betapa Tuhan telah menciptakan keindahan seperti itu. Dia seperti impian saja.
EYANG IRMA             : (KE SAMPING) Jika seandainya dia tahu bahwa impian itu ada di sampingnya, dia akan sadar impian macam apa itu, heh? (KERAS-KERAS) Dia adalah gadis yang malang yang gagal cinta.
KAKEK MITRO           : Betapa sedihnya (mereka saling memandang)
EYANG IRMA             : Anda pernah mendengar kabarnya?
KAKEK MITRO           : Ya, pernah.
EYANG IRMA             : Nasib malang meminta yang lain (KESAMPING) Mas Mitro!
KAKEK MITRO           : Ah, pemuda tampan itu! Peristiwa cinta yang sama.
EYANG IRMA             : Ya, perkelahian itu.
KAKEK MITRO           : Tepat, perkelahian itu. Pemuda tampan itu adalah ... saudara sepupu saya. Saya sangat sayang sekali kepadanya.
EYANG IRMA             : Oh ya, saudara sepupu. Seorang temanku menyurati saya dan bercerita tentang mereka. Dia... saudara sepupu Anda itu... tiap pagi lewat di depan jendelanya dengan naik sepeda, dan melemparkan ke atas sekuntum bunga yang segera disambut gadisnya.
KAKEK MITRO           : Dan tak lama kemudian, dia... saudara sepupu saya itu... lewat lagi untuk menerima bunga dari atas. Begitu?
EYANG IRMA             : Benar. Dan keluarga gadis itu ingin agar ia kawin dengan bangsawan yang tidak ia cintai.
KAKEK MITRO           : Dan pada suatu sore, ketika saudara sepupuku tadi tengah menanti gadisnya keluar... di bawah jendela, bangsawan itu muncul dengan tiba-tiba.
EYANG IRMA             : Dan menghina saudara Tuan itu.
KAKEK MITRO           : Kemudian pertengkaran terjadi.
EYANG IRMA             : Dan kemudian... DUEL!
KAKEK MITRO           : Ya, waktu matahari terbenam, di tepi bukit dan jurang-jurang, dan si Saudagar itu luka-luka parah. Saudara sepupu saya itu harus bersembunyi dan kemudian melarikan diri.
EYANG IRMA             : Tuan rupanya mengetahui benar ceritanya.
KAKEK MITRO           : Nyonya pun begitu agaknya.
EYANG IRMA             : Saya katakan tadi, seorang teman telah menyurati saya.
KAKEK MITRO           : Saya pun diceritai oleh saudara sepupu saya. (KE SAMPING) Heh, inilah Irmayanti itu! Tak salah!
EYANG IRMA             : (KE SAMPING) Kenapa menceritakan padanya? Dia tak curiga apa-apa.
KAKEK MITRO           : (KE SAMPING) Dia sama sekali tak bersalah.
EYANG IRMA             : Dan apakah Tuan pula yang menasihati saudara Tuan itu untuk melupakan Irmayanti?
KAKEK MITRO           : Ooo, saudara sepupu saya tak pernah melupakannya.
EYANG IRMA             : Bagaimana begitu?
KAKEK MITRO           : Akan saya ceritakan segalanya kepada Nyonya. Pemuda – Mas Mitro itu – bersembunyi di rumah saya, takut menanggung akibatnya yang buruk sehabis menang dalam perkelahian itu. Dari rumah saya ia terus lari ke Semarang. Ia kirim surat-surat kepada Irmayanti, di antaranya sajak-sajak. Tapi tentunya surat-surat itu jatuh ke tangan orang tuanya. Buktinya tak ada balasan. Kemudian Mas Mitro pergi ke Surabaya, sebab cintanya telah gagal sama sekali, ikut berperang dan terbunuh di sebuah selokan sambil menyebut berulangkali nama Irmayantinya yang sangat tercinta.
EYANG IRMA             : (KE SAMPING) Dusta! Heh, dusta kotor belaka!
KAKEK MITRO           : (KE SAMPING) Saya tak bisa membunuh diriku lebih ngeri lagi.
EYANG IRMA             : Tuan tentunya telah ditumbangkan kesedihan yang sangat.
KAKEK MITRO           : Memang betul. Dia seperti saudaraku sendiri. Dan saya kira tak lama kemudian, Irmayanti telah melupakannya. Kembali bermain memburu kupu-kupu seperti biasanya. Tak pernah meratapinya.
EYANG IRMA             : Tidak. Sama sekali tidak!
KAKEK MITRO           : Biasanya perempuan memang begitu!
EYANG IRMA             : Kalaupun itu sudah sifat perempuan, “Kembang Roro Ireng” adalah terkecuali! Teman saya itu menanti berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dan tak selembar surat pun tiba. Suatu senja ketika matahari terbenam, dia meninggalkan rumahnya dan dengan langkah tergesa menuju tepi tebing tempat kekasihnya menjaga nama baiknya. Ia menuliskan namanya di bebatuan, lalu duduk di antara pepohonan, memandang ke kaki langit. Angin menyanyikan tembang duka yang kekal, dan bertiup di pepohonan di mana perawan itu duduk. Topan segera tiba dan menyapu gadis itu dari muka bumi.
KAKEK MITRO           : Ya Allah!
EYANG IRMA             : Para warga di situ sering menceritakan bahwa batu bernama yang ditulis gadis itu lenyap jatuh ke jurang. (KE SAMPING) Toh kamu tak tahu aku reka-reka sendiri cerita kematianku!
KAKEK MITRO           : (KE SAMPING) Dia berdusta lebih ngeri dari dustaku!
EYANG IRMA             :  Ah, Irmayanti yang malang!
KAKEK MITRO           : Wahai Mas Mitro yang malang!
EYANG IRMA             : (KE SAMPING) Aku takkan bercerita kepadanya bahwa aku kawin dua tahun kemudian setelah perkelahian itu!
KAKEK MITRO           : (KE SAMPING) Aku takkan bercerita kepadanya bahwa dua bulan kemudian aku mengawini penari dari Surakarta!
EYANG IRMA             : Nasib memang selalu aneh. Di sini, Tuan dan saya, dua orang asing, bertemu secara kebetulan dan saling menceritakan kisah cinta yang sama dari dua teman lama yang telah bertahun lalu terjadi, seperti sudah akrab benar kita ini!
KAKEK MITRO           : Ya, memang aneh. Padahal mula-mula kita bertemu tadi, kita bertengkar.
EYANG IRMA             : Tuan juga yang tadi menginjak kaki saya.
KAKEK MITRO           : Memang agak kasar saya tadi.
EYANG IRMA             : Memang kasar. (RAMAH) Tuan mau pergi kemana?
KAKEK MITRO           : Saya harus ke Surabaya. Anak saya ingin saya tinggal di sana.
EYANG IRMA             : Sebelumnya Anda tinggal di sini?
KAKEK MITRO           : Iya. Di Karang Asem.
BEL BERBUNYI TANDA KERETA API BIMA TUJUAN JAKARTA-SURABAYA TELAH TIBA.
EYANG IRMA             : Oh, ini kereta yang membawa cucuku datang. Hei! Mana pembantuku tadi? – Kemala!
KAKEK MITRO           : (MELIHAT EYANG IRMA yang membelakang) Tidak! Tak akan kukatakan siapa aku ini sebenarnya. Aku sudah tua dan lemah. Biarlah dia mengangankan aku sebagai penunggang sepeda tampan yang lewat di bawah jendelanya.
EYANG IRMA             : Nah, itu dia.
KAKEK MITRO           : Itu cucuku, Putra! Lama benar ia membeli obat. Kereta kita sudah sampai! (MENGISYARATI)
EYANG IRMA             : (memandang KAKEK MITRO yang membelakang) Tidak, aku sudah berubah tua. Lebih baik ia mengingatku sebagai gadis bermata hitam yang melempar bunga dari jendela. (PUTRA dan KEMALA masuk) Hei, Kemala!
KAKEK MITRO           : Putra, kau sedikit lambat.
KEMALA                    : (KEPADA EYANG IRMA) Sopir Eyang memberikan bunga-bunga ini kepada Eyang, sebagai tanda minta maaf karena terlalu lama mengobrol dengan saya.
EYANG IRMA             : Alangkah bagusnya. Terima kasih. Sedap benar baunya!
 KAKEK MITRO          : Ini semua sungguh menyenangkan, Nyonya!
EYANG IRMA             : Demikian juga saya, Tuan!
KAKEK MITRO           : Sampai bertemu lagi, Nyonya!
EYANG IRMA             : Sampai bertemu lagi, Tuan!
KAKEK MITRO           : Agak panas hari ini!
EYANG IRMA             : Pagi yang cerah. Kapan Tuan akan pulang ke Yogya?
KAKEK MITRO           : Saya tidak tahu. Tapi saya akan menanti Nyonya di sini kalau saya kembali. Itu kalau Nyonya tidak berkeberatan.
EYANG IRMA             : Bangku ini selalu menanti Tuan!
KAKEK MITRO           : Akan saya bawa oleh-oleh dari Surabaya!
EYANG IRMA             : Baik, terima kasih. Sampai jumpa!
KAKEK MITRO           : Sampai jumpa. (EYANG IRMA melangkah ke kanan DIIKUTI KEMALA. BERHENTI SEJENAK, MELEMPARKAN SETANGKAI BUNGA KE TANAH)
KAKEK MITRO MELIHAT SEBUAH BUNGA TERGELETAK DI TANAH. IA membungkuk susah payah memungut bunga yang jatuh tadi, dan EYANG IRMA menengok ketika itu
EYANG IRMA             : Apa yang Tuan kerjakan?
KAKEK MITRO           : (PURA-PURA TIDAK MENDENGARKAN. MENYEMBUNYIKAN BUNGA DALAM PELUKKANNYA) Putra, tunggu dong! Punggung Kakek tiba-tiba sakit!
EYANG IRMA             : Tak salah, dialah Mas Mitro!
KAKEK MITRO           : (KE SAMPING) Tak salah, dialah Irmayanti! (mereka masing-masing melambaikan tangan)
EYANG IRMA             : Mungkinkah dia itu benar orangnya?
KAKEK MITRO           : Ya Allah, diakah orangnya itu? (keduanya tersenyum)

BLACK OUT