facing side is my favorite position when photographed

Minggu, 30 Januari 2011

Absurdisme Sutardji Calzoum Bachri, Darmanto Jatman dan Yudhistira

Buku Secrets Need a Words dalam bentuk aslinya adalah antologi bilingual puisi Indonesia yang ditulis sepanjang periode sejarah “Orde Baru” sejak 1965 sampai 1998. Diedit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dengan menggunakan teknik terjemahan bebas. Diterbitkan kembali sebagai antologi monolingual dengan judul Rahasia Membutuhkan Kata. Antologi ini memuat 118 puisi dari 24 penyair. Antologi ini dibagi menjadi dua bagian yang menampilkan dua generasi yang berbeda, 1965—pertengahan 1980 dan 1980—1998. Ada delapan bab yang disusun secara kronologis dan tematik dalam antologi ini.
Pembagian kelompok penulis berdasarkan angkatan merupakan ciri khas dalam sejarah sastra Indonesia. H.B Jassin menggunakan istilah angkatan dengan membaginya menjadi, “Angkatan 20-an”, “Angkatan 30-an”, “Angkatan 45”, dan  “Angkatan 66”. Rene Wellek menganggap bahwa istilah-istilah periode adalah nama-nama untuk sistem norma yang mendominasi sastra pada masa tertentu dari proses sejarah.
Awal tahun 70-an, Orde Baru telah membangun suatu pola kebijakan ekonomi dan birokrasi pemerintahan tersendiri yang demikian kuat hingga 1990-an, dan memberikan pengaruhnya yang sangat penting bagi penciptaan sastra. Perubahan pertama adalah pergeseran menuju sebuah ekonomi pasar terbuka, yang dengan ketat diawasi oleh pemerintah. Penanaman modal asing adalah kekuatan utamanya. Pancasila dijadikan ideologi pembangunan dan dijadikan “tameng” dari banyaknya kritik tentang pembagian keuntungan ekonomi.
            Indonesia bergerak menuju pemerintahan yang dijalankan oleh politik penguasa. Aktivitas politik di luar politik pemerintah (Partai Golkar) diancam dengan dogma-dogma sehingga rakyat tetap buta politik. Kesadaran dan pengetahuan politik rakyat menjadi sangat rendah. Kritik dan komentar sosial dianggap potensial sebagai perbuatan politik ilegal. Struktur otoritas didominasi oleh personil militer sebagai wujud kebijakan dwifungsi ABRI. Pejabat militer ditempatkan pada posisi penting birokrasi hampir di seluruh departemen pemerintah. Militer dilatih untuk berani dalam membuat keputusan yang tegas, tidak ada ruang untuk sikap ragu-ragu atau sentimental seperti kehidupan para penulis dan pembaca sastra. Selain itu, semakin sedikit pula ruang yang tersedia untuk opini sosial akibat pembatasan hukum pada ekspresi yang jujur dan opini pribadi, khususnya opini yang bersebrangan dengan Presiden dan Pemerintah.
            Sementara itu, pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan kebebasan berserikat, berpikir dan mengeluarkan pendapat dan lain-lain akan dilindungi oleh undang-undang, dipahami oleh pemerintah dengan arti bahwa hak-hak ini hanya bisa ditentukan oleh undang-undang. Legalisasi hak untuk mengkritik, sebagaimana yang ditentukan oleh pemerintah, mempunyai akibat lain bagi penulis, yakni terjadinya penolakan terhadap sesuatu yang mengarah pada sosialisme, ideologi sayap kiri, dan kekacauan1965, serta terciptanya batas antara sastra dan politik. Kondisi ini kian memburuk karena diperkuat oleh tindakan pemerintah dengan pelarangan penulisan, penangkapan, dan penahanan penulisnya.
            Arif Budiman mengatakan bahwa kritik sosial dalam kesusastraan modern masih muncul, tetapi tidak memiliki dampak yang kuat pada masyarakat yang lebih luas. Berdasarkan latar belakang tersebut, situasi kesusastraan Indonesia tampaknya tidak mengalami perkembangan yang berarti sampai beberapa tahun berikutnya.
Salah satu ciri yang menonjol dari tulisan prosa kontemporer adalah pelukisan suasana berunsur humor. Ciri seperti ini terdapat pada puisi Rendra dan Taufiq Ismail pada akhir tahun 1960-an. Juga terdapat pada puisi-puisi Iwan Simatupang (nonrealis), Danarto (absurd), Putu Wijaya (surealis), Budi Darma (fantastik). Sikap main-main dan pribadi yang tidak serius terhadap bahasa dan masyarakat menjadi karakter yang menonjol pada puisi-puisi Sutarji Calzoum Bachri, Darmanto Jatman, dan Yudishtira yang ditulis sekitar awal 1970-an. Menurut Remy Sylado, sajak bukan benda keramat, karena sajak bisa dibuat dengan mudah dan bisa dipergunakan untuk apapun termasuk untuk mengejek, membuat kejutan, dan melucu.
            Sutardji menjelaskan pendekatannya pada puisi dalam “kredo puisi”-nya tanggal 30 Maret 1973. Menurutnya, “kata-kata bukanlah alat yang mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang mengantarkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri.” Pengertian adalah bentuk penjajahan atas kata-kata dan ide-ide adalah pembebanan. Sutardji menyatakan bahwa melalui puisinya, ia telah membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus, gramatika dan moralitas. Satu-satunya tugas Sutardji sebagai penyair adalah membiarkan kata-kata membentuk maknanya sendiri dan mendapatkan ’aksentuasi yang maksimal’. Sutardji menyimpulkan, ”menulis bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantra. Maka, menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata pada mantra.”
            Puisi Sutardji berkaitan dengan Tuhan, sering kali dengan penghilangan keberadaan subjek. Puisi konkret “Pot” mungkin mengacu pada pot bunga, periuk, obat terlarang (di berbagai wilayah di Indonesia biasa dipakai untuk memasak dedaunan tanaman terlarang dan sama sekali tidak ilegal). Suara bergelombang yang dihasilkan oleh pengulangan kata ”pot…pot…pot…” mungkin menggiring pendengarannya untuk memutuskan cangkir kopi sebagai subjek yang sesungguhnya dari puisi tersebut, tetapi makna sebenarnya tentu saja arbitrer seperti puisi-puisi yang lain.
            Selain tema Tuhan, seksualitas manusia menjadi salah satu tema yang menarik bagi Sutardji. Selain bermakna keintiman, puisi tersebut juga menyiratkan bahwa cinta bisa berubah menjadi serangan atau kekerasan. “Mesin Kawin” dan “A Gift of Lobe from an Indonesian Gentleman…” keduanya dipengaruhi nada main-main yang menunjukkan keinginan untuk mengejutkan pendengarnya. Sutardji bereksperimen dengan suara dan pola kata-kata, tetapi cenderung menulis dalam bentuk Melayu-Indonesia.
Puisi Darmanto Jatman lebih ‘serampangan’. Jika dilihat dari panjang barisnya, Darmanto sering kali mencampur kata-kata dari bahasa Indonesia, Jawa, Inggris, Belanda, Hawai dan Cina secara bersamaan. Penggunaan bahasa yang campur aduk ini mungkin merupakan ciri pengucapan bahasa Indonesia para urban muda, yang dibuat-buat untuk mengucapkan lafal-lafal asing. Dalam buku puisinya yang pertama, Bangsat, Darmanto berpusat pada dirinya sendiri dan persoalan masa remaja: kerja, cinta, moralitas, dan agama Katolik. Tulisan Darmanto tidak menempatkan Timur dan Barat sebagai pihak yang saling melawan, tetapi mencampurkan Timur dan Barat dalam satu budaya Indonesia yang baru.
            Yudhistira adalah yang paling tidak serius dari ketiga penyair absurd tersebut. Puisinya tampil lebih dari sekedar humor getir. Dibaliknya tersimpan kepahitan pada ketidakadilan yang garang di masyarakat Indonesia saat ini. Puisinya dibuat seperti “simbol dan slogan” yang dapat dengan bebas menampilkan imaji kepentingan masyarakat, sementara sebenarnya mempromosikan kepentingan pribadi mereka sendiri dengan tanpa merasa bersalah atau malu.
            Tidak semua kritikus menerima semua kedangkalan sastra tahun 70-an tersebut. David Hill misalnya, ia telah mengemukakan bahwa gaya “fantastis dan absurd” yang berkembang sepanjang dekade ini tidak mempunyai kaitan dengan masa sosial masa ini. Gaya penulisan semacam itu merupakan reaksi terhadap tekanan peraturan kenegaraan dan analis yang dapat dibuat dengan mudah oleh para penulis tersebut karena “universalitasnya, perspektif sastra tanpa pijakan searah” dan “kurangnya komitmen sosial”.
Pendapat lain yang tidak terlalu skeptis adalah pendapat Paul Tickell yang mempertentangkan realisme dan fantasi. Menurutnya, dominasi realisme dalam dunia kesusastraan Indonesia saling berkaitan antara kiri dengan kanan, ataupun dengan ideologi modern. Modernisme didominasi oleh pandangan dunia yang dianggap rasional, logis, ilmiah, dan positivistik. Sastra tahun 70-an menegaskan cara memandang dan melukiskan dunia sebagaimana adanya, tidak terikat oleh mitos dan tradisi. Dengan semakin meningkatnya sebuah kekuasaan penuh, efektif, sentralisasi negara dimana-mana dan serba tahu, sastra Indonesia modern menjadi semakin tidak memiliki peran untuk hidup dan eksistensi manusia di dunia, dan perlahan-lahan mulai melihat diri sendiri sebagai korban. Akan tetapi, penggambarannya justru lebih banyak diungkapkan melalui simbol dan metafor daripada melalui konvensi realis. Surealisme memiliki kekuatan untuk bertanya dan kadang-kadang menggali konvensi penciptaan sastra, dan sering memunculkan ilham tentang kebenaran alam dunia.
            Marshall Clark telah mengembangkan pandangan Tickell. Menurutnya, fantasi bukan hanya pertahanan diri terhadap konvensi-konvensi sastra dan sosial. Hal ini juga merupakan jalan bagi hegemoni Orde baru yang menancapkan kekuasaannya dengan menyatakan identitas budaya dalam arti “kesatuan” sebagai akibat dari perbedaan. Fantasi digunakan secara konsisten dalam sastra Indonesia sepanjang Orde Baru untuk membuka kesadaran kolektif akan kekacauan yang tidak terlihat di luar sastra yang dominan dan sistem budaya. Hal ini memunculkan realitas tersembunyi pada masyarakat Indonesia: kerusuhan, pembunuhan, pembasmian dan kejahatan lainnya.
Sastra mempunyai kekuatan untuk mendokumentasikan ruang-ruang yang hilang dalam masyarakat ketika bentuk lain dari ekspresi politik dilarang untuk mencatat apa yang tak terucapkan. Sastra mempunyai kekuatan untuk menunjukkan mana yang tersembunyi dan mana yang disembunyikan ketika dogma penguasa menyembunyikan kebenaran dari masyarakat. Sastra mempunyai kekuatan untuk mengangkat yang lemah ketika yang kuat berada pada posisi menginjak-injak.
Analisis Dialog dalam Drama Absurd
Pertumbuhan di Atas Meja Makan

Drama ini menceritakan sepasang suami-isteri yang terlibat adu mulut di dalam ruang makan. Dalam isi percakapan mereka, suami-isteri ini menirukan beberapa penggalan naskah drama dan kutipan pendapat tokoh Indonesia. Drama ini dibagi ke dalam beberapa adegan yaitu Jakarta 1988, Jakarta 1988-1963 (Kutipan pendapat Soekarno dan surat Mohammad Hatta mengenai pers), Kemustahilan yang Melukai (Kutipan drama “Caligula”), Majapahit Jam 11 Malam (Kutipan drama “Sandhyakala Ning Majapahit”), Pidato Muhammad Hatta: “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelagensia”, nyanyian Franky Silahatua: “Langit Malam”, dan Jakarta Jam 11 Malam. Ada persamaan tema dalam penggalan drama yang mereka perankan,  yaitu kegetiran terhadap pemerintah Indonesia zaman orde lama dan orde baru. Dialog-dialognya menggambarkan kritik tajam terhadap kekejaman pemerintah yang sangat otoriter. Saat itu orang-orang yang tidak suka akan kinerja dan tindakan pemerintah dibunuh lalu dibuang. Biasanya pada bagian awal naskah drama, penulis naskah menuliskan prolog yang menggambarkan setting panggung dan latar belakang peristiwa. Akan tetapi, sang editor, Afrizal Malna, menuliskan pendahuluan yang isinya adalah ide awal dia membuat drama ini. Dari pendahuluan tersebut—sebagai pembaca naskah drama—kita jadi tahu bahwa yang ingin disampaikan Afrizal Malna adalah interpretasi yang bebas. Interpretasi yang bebas maksudnya adalah sudut pandang pembaca tidak harus satu atau sama. Interpretasinya bisa apa saja tergantung darimana pembaca melihat angle drama ini.Drama ini tergolong dalam drama absurd karena dialognya sulit dipahami. Walaupun begitu, kita masih bisa menyimpulkan maksud dialognya setelah membacanya secara keseluruhan. Pada adegan Jakarta 1988, dialognya menggambarkan betapa otoriternya pemimpin Indonesia—dalam hal ini adalah Soekarno dan Soeharto. Sang isteri mendialogkannya dalam gelap sebagai gambaran akan gelapnya bukti-bukti fisik kekejaman pemerintah. Selain itu, Afrizal Malna membuat suasana gelap pada bagian ini karena tokoh-tokoh yang sangat otoriter itu memang tidak diketahui wajahnya, cuma diketahui asal suaranya. Berikut penggalan dialognya.
Dalam gelap terdengar suara wanita berkata seperti percakapan di tengah malam: “Saya tidak bisa menyelesaikan masalah ini melalui musyawarah, seperti yang anda sarankan. Apa yang bisa dihasilkan dari sebuah musyawarah? Musyawarah hanya akan membuat kita menghina kemampuan kita sendiri. Sekarang jalankan saja apa yang saya inginkan dan saya perintahkan. Kalau tidak? Apa boleh buat, saya terpaksa harus menyingkirkan Anda bukan. Hanya itulah cara agar anda bisa melihat saya dengan jelas, dan saya pun melihat anda dengan jelas.” (hlm.4-5)
Pada adegan dua, Jakarta 1988-1963, dialognya adalah kutipan pendapat Soekarno dan Surat Mohammad Hatta mengenai pers. Menurut kami, dialog ini adalah sindiran Soekarno-Hatta terhadap pers yang saat itu mulai berani untuk menyiarkan kondisi pemerintahan. Soekarno-Hatta merasa bahwa pers belum bisa menilai pemerintah dengan penilaian yang subjektif. Afrizal Malna ingin menggambarkan kegetiran ini melalui dialog antara Suami, berperan sebagai Hatta, dan Isteri, berperan sebagai Soekarno. Berikut dialognya:
Suami: “Darimana anak itu menjual koran-koran yang telah dibredel?”Isteri: “Revolusi memerlukan kepemimpinan. Oleh karena itu, kami masih dalam taraf revolusi ekonomi. Aku tidak mengizinkan kritik-kritik yang merusak tentang kepemimpinanku, begitu pun aku tidak mengizinkan kemerdekaan pers. Tentara manakah yang mengizinkan seorang prajurit menelanjangi jenderalnya di muka umum, hal yang akan menjatuhkan kehormatan dan kepercayaan terhadapnya? Tindakan demikian itu tidak dibenarkan bukan karena jenderal itu sombong, melainkan sikap prajurit seperti ini dapat menghambat keutuhan psikologis dari seluruh tentara, menimbulkan keragu-raguan dan ketiadaan kepercayaan. Saya berpendapat sekarang bahwa saya tidak akan mengizinkan kemerdekaan yang bebas, yang memberikan kebebasan kepada pers untuk membunuh kepala negaranya dengan ditonton oleh seluruh dunia.Di satu negeri baru yang masih bayi seperti negara kami, hal yang demikian dapat menghacurleburkan kami.”Suami: “Selama masa penjajahan Belanda, segala-galanya dikontrol pemerintah kolonial Belanda melalui sensor, penyitaan, dan tekanan. Jaksa Agung memiliki kekuasaan politis untuk mengawasi gerakan nasional dan pers. Gubernur Jenderal mempunyai hak mengirimkan siapa pun ke tempat pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan, jika dianggapnya ia berbahaya bagi keelamatan negara. Waktu itu tidak ada radio, tidak ada TV. Satu-satunya media massa adalah surat kabar dan pertemuan-pertemuan. Pertemuan terbuka tidak diperbolehkan. Setiap pertemuan harus diadakan di tempat terbatas, yang selalu dihadiri polisi untuk mengawasi. Dan ia dapat menghentikan seorang pembicara atau melarang pertemuan itu, jika dianggapnya seorang pembicara terlampau tajam menyoroti pemerintah.” (hlm.5-6)
Dari penggalan dialog adegan Jakarta 1988-1963, kita beralih ke adegan Kemustahilan yang Melukai. Dalam adegan ini, Afrizal Malna ingin menyampaikan lembaran kelam pemerintah yang lain yaitu kekejaman para pejabat. Pada masa orde lama maupun orde baru, banyak sekali kasus hilangnya orang-orang dan pembunuhan berencana. Dialog dalam adegan ini menceritakan keresahan suami—berperan sebagai raja yang telah membunuh banyak orang demi keutuhan posisi—terhadap dendam rakyat-rakyatnya. Afrizal Malna mencoba menghadirkan realita seorang pejabat pemerintah yang ketakutan akan datangnya azab, tetapi masih tetap ingin membunuh demi mempertahankan posisi dan memperkaya diri. Berikut salah satu contoh dialog dalam adegan Kemustahilan yang Melukai.
Suami: “Kebodohan tidak membunuh. Kebodohan hanya memperlambat manusia bertindak. Tetapi ia bisa berbahaya sekalii, Caesonia. Seorang dungu tidak bisa dihalangi jika merasa martabatnya telah tersinggung. Bukan mereka yang ayahnya atau yang anaknya telah aku bunuh yang akan membunuhku. Tetapi yang lain, merka yang telah aku jadikan sebagai bahan tertawaan yang akan membunuhku.” (hlm.10)
Dalam dialog ini, suami berperan sebagai Caligula, raja yang diktaktor dan sangat kejam. Penggalan dialog itu menyatakan bahwa Sang suami—yang sedang berperan menjadi Caligula—takut akan balasan dari rakyat-rakyatnya yang ia sengsarakan. Dialog itu adalah kritikan terhadap pemerintahan masa orde lama dan orde baru. Pada masa itu, setiap orang harus taat terhadap apapun kebijakan pemerintah dan tidak boleh meng-kritik apapun.Dialog adegan berikutnya adalah Majapahit Jam 11 Malam. Pada bagian ini, Afrizal Malna mencoba memberikan gambaran harapan orang-orang Indonesia akan datangnya seorang pahlawan yang dapat menyudahi ke-bobrok-an pemerintah. Dalam adegan ini, suami-isteri terlibat percakapan membahas tentang asal-usul Brahma. Suami berperan sebagai Damar Wulan dan Isteri berperan sebagai Maharesi. Setelah mereka terlibat percakapan panjang, latar pun berubah ke setting kerajaan Majapahit. Pada bagian ini, mereka tidak lagi berdialog berdua saja. Terdapat suara-suara yang menggambarkan suasana rapat di kerajaan Majapahit. Rapat ini membahas Damar Wulan—yang keberadaannya mengancam kerajaan.Pada adegan kelima, Afrizal Malna menggambarkan bentuk harapan orang-orang Indonesia. Bentuk harapan itu diwujudkan dengan pidato Bung Hatta saat peresmian Universitas Indonesia. Suami berperan sebagai Hatta yang pura-puranya sedang berdialog di depan civitas UI. Inti pidato tersebut adalah himbauan Hatta terhadap Universitas Indonesia sebagai sebuah instansi yang akan menghasilkan penerus-penerus bangsa.Pada adegan terakhir, Jakarta Jam 11 Malam, diceritakan para tokoh berdialog dengan kata “KWAK”. “KWAK” disini bisa diartikan apapun. Pada adegan terakhir ini, kesimpulan diserahkan kepada pembaca. Menurut kami, Afrizal Malna memberikan para pembaca sebuah realitas yang tidak bisa dipungkiri lagi. Realitas itu adalah kondisi bangsa Indonesia sekarang yang masih saja bobrok. Harapan-harapan yang semula sangat dipercaya dapat mengubah kondisi bangsa Indonesia, tetap saja hanya harapan. Nasib bangsa Indonesia yang katanya akan berubah seiring dengan lahirnya anak-anak bangsa, ternyata tetap saja tidak mengubah apapun.Afrizal Malna menciptakan alur yang dapat dibilang tersusun rapi sesuai dengan amanat yang ingin disampaikan. Alur dengan tema-tema yang berbeda di setiap adegannya terbilang cukup unik karena pembaca dapat menyimpulkan satu-persatu sesuai urutan adegan. Dialog-dialognya adalah poin penting yang menjadi ujung tombak dalam penceritaannya. Walaupun Afrizal Malna hanya sebagai editor, tetapi ia telah berhasil membuat drama Pertumbuhan di Atas Meja Makan menjadi sebuah drama yang menarik. Amanat yang ingin disampaikannya pun cukup mendalam. Keprihatinan dan kepeduliannya terhadap nasib bangsa menjadi alasannya untuk membuat drama ini.
Pengaruh Luar Terhadap Sastra Indonesia yang Terbaru
Oleh Anas Prambudi Trisno Wardoyo

Sitor Situmorang melihat permasalahan pengaruh ‘luar’ masih belum cukup matang untuk dibahas karena menurutnya kata ‘luar’ itu tidak jelas maksud pembahasannya. ‘Luar’ bisa diartikan di luar Indonesia seperti Melayu, Cina, Jepang, Portugis, dsb. Luar juga bisa diartikan Eropa, Amerika, Rusia, dsb.  Sastra Indonesia ‘terbaru’ yang dimaksud juga tidak jelas ditujukan pada masa apa. Sitor Situmorang membatasi permasalahan ini dalam beberapa subbahasan:

I.                   Pembahasan secara umum mengenai sastra Indonesia terbaru
Menurut Sitor Situmorang pengaruh luar bagi kesusastraan Indonesia terbaru dimulai pada angkatan Pujangga Baru. Pengaruhnya meliputi semua bentuk karya sastra, seperti bentuk roman, novel, cerita pendek, esai, dan sandiwara. Pada masa itu, para sastrawan dipengaruhi oleh bentuk sastra Eropa terutama dalam wujud puisi.
Soneta adalah salah satu contoh bentuk sastra Eropa yang dibuat para sastrawan Indonesia pada masa itu. Hampir semua sastrawan membuat soneta sehingga pada masa itu puisi soneta menjadi karya sastra yang wajib dibuat. Bentuk puisi dengan pakem sastra lama—terdiri dari empat bait dengan susunan kalimat yang teratur serta tema yang realis—juga mulai ditinggalkan. Bentuk puisinya sudah mulai bereksperimen dengan keluar dari pakem. Salah seorang sastrawan yang disebut oleh Sitor Situmorang membuat eksperimen yang radikal dalam puisi-puisinya adalah Chairil Anwar .

II.                Pengaruh antarbangsa dalam pembentukan sastra di Indonesia
Sitor Situmorang berpendapat bahwa kebudayaan suatu bangsa saling mempengaruhi. Hal itu juga berdampak bagi sastra di tiap bangsa sehingga tiap karya sastra suatu bangsa tidak akan bercorak sama seperti aslinya. Sitor Situmorang menyebut  “ke-barat-baratan” kepada sastra yang sudah mendapat pengaruh asing. Menurutnya, “ke-barat-baratan” mengandung semacam prasangka dan kecurigaan bahkan penolakan. Akan tetapi, secara sadar atau tidak sadar “estetika dan etika” “ke-barat-baratan” itu dipergunakan dalam sastra Indonesia terbaru. Walaupun begitu, Sitor Situmorang melihat itu sebagai “penghargaan” yang melingkupi kritik dan cipta seni.

III.             Pengaruh luar dibatasi pada pengertian pengaruh Eropa
Sitor Situmorang membatasi “pengaruh luar” pada pengertian “pengaruh Eropa”. Pembatasan pengertian ini dimaksudkan agar sepanjang kita mengenal kebudayaan dan sastra bangsa lain diluar lingkungan Eropa, maka pandangan kita melalui saringan estetika dan etika Eropa. Sastra terbaru diluar Eropa berada dalam situasi sama terhadap estetika dan etika Eropa (dalam usaha membebaskan diri).

IV.             Tokoh-tokoh yang bercorak ‘luar’ dalam setiap karya sastranya
Pada subbahasan ini, Sitor Situmorang mengkaji pengaruh “luar” dari tokoh-tokoh sastra yang membuat puisi modern yaitu Chairil Anwar. Chairil Anwar berkiblat pada dua penyair Eropa yaitu Marsman dan Slauerhoff. Secara kebetulan, Chairil Anwar berjumpa dengan Marsman dan Slauerhoff. Hal itu berdampak bagi Chairil Anwar dalam kerangka berpikir tiap karya sastra yang ia buat.

V.                Kaitan antara perbedaan zaman dengan penghargaan terhadap karya-karya sastra
Puisi ada di segala zaman. Penyair ada di segala zaman. Akan tetapi, sifat penghargaan dan penilaian kita kepadanya terikat pada zaman itu. Begitulah pendapat Sitor Situmorang melihat perbedaan zaman dan hasil karya sastra yang berbeda di tiap zaman. Dalam hal ini bukan hanya berlaku pada puisi saja, tetapi juga berlaku pada prosa, sandiwara, dan cabang seni lainnya.
Sitor Situmorang menganalisis mythe seorang manusia, individu yang menarik etika dan merasakan solidaritasnya dalam penyendiriannya. Sitor melihat Chairil Anwar, Marsman, dan Slauerhoff sebagai subjek dengan segala -isme keseniannya. Ditinjau dari cara demikian maka puisi Chairil Anwar dan puisi sesudahnya di Indonesia sangat mendalam. Sitor Situmorang menyebut hal ini sebagai “sastra mythe individu”.

VI.             Arti sastra zaman sekarang bagi para pembaca dan pembuat
Dalam puisi, penentuan ukuran kesukaan pembaca adalah dari hasil bacaannya, artinya pengalamannya sendiri yang diberi bentuk oleh apa yang dibacanya sebelumnya. Sitor Situmorang berasumsi bahwa puisi Indonesia terbaru berada dalam suatu alam puisi yang belum matang menghadapi sajak-sajaknya sendiri. Penjelasannya sebagai berikut: Idiom puisi suatu zaman ada hubungannya dengan puisi sebelumnya—termasuk dalam puisi baru yang terbesar idiomnya—walaupun tidak perlu dari lingkungan satu bahasa.
Di Indonesia Amir Hamzah ada hubungannya dengan idiom puisi Melayu. Chairil Anwar dengan puisi Marsman dan Slauerhoff. Sitor Situmorang pun dengan tegas mengatakan bahwa jika ada puisi yang lahir belum berselang sepuluh tahun sesudah munculnya Chairil Anwar, ia tidak boleh mengaku ada hubungan dengannya. Hal itu karena Chairil adalah sastrawan yang dikondisikan sebagai seorang penyair.
Sitor Situmorang menjelaskan bahwa sajak-sajak tahun 1954 memperlihatkan pemakaian bahasa dan idiom menurut cara kaum Simbolis dan kaum Surrealis Eropa. Akan tetapi sajak-sajak itu tidak memperlihatkan aesthetisme—kegemasan dan kemutlakan pencarian keagamaan, ketegangan psikologis dan penjelasan soal-soal sosial—dalam arti aslinya seperti yang menjadi jiwa puisi kaum simbolis. Sajak-sajak Indonesia banyak yang bertema sentimentil seperti perpisahan yang belum direlakan dan lain-lain.
Sitor Situmorang membandingkan puisi Indonesia dengan puisi Eropa. Puisi Eropa mempunyai tema dan bentuk yang lebih banyak ketimbang puisi Indonesia. Akan tetapi, apapun tema puisi Indonesia nantinya, bentuk dan sifatnya selalu memperlihatkan pengaruhnya. Pengaruh ini menentukan penghargaan terhadap sastra yaitu cipta seni.

VII.          Kesimpulan
Pengaruh Eropa yang sangat besar terhadap sastra Indonesia dimulai pada zaman Pujangga Baru, walaupun di zaman itu pengaruhnya hanya berupa cara dan ideologi. Akibat dari pengaruh tersebut muncul bentuk novel, roman, cerita pendek, sandiwara, film dan semua yang bersifat sastra. Sebenarnya, keinginan untuk membuka diri pada pengaruh-pengaruh luar dalam hal sastra melalui terjemahan ataupun dengan membaca sendiri masih sangat terbatas. Kendala-kendalanya mungkin karena penerjemahan yang dilakukan tidak secara berencana serta penguasaan bahasa yang kurang. Pengaruh yang diambil juga tidak melalui penyesuaian dengan keadaan sosial budaya Indonesia, sehingga karya-karya yang dihasilkan jauh dari latar jiwa dan latar ke-Indonesiaan.

Jumat, 14 Januari 2011

Etika Jurnalisme: Penyeleseaian Masalah Jurnalistik di Indonesia


Tentang Etika
            Di tengah proses mencari jati diri pers Indonesia, sebagian wartawan Indonesia sepertinya saat ini tengah sibuk membicarakan persoalan etika, khususnya ketika kepentingan negara, kepentingan pemodal, kepentingan rakyat dan idealisme wartawan di lapangan kerap bertempur. Etika kerap menjadi sebuah hal yang dinaifkan. Etika hanya dianggap sebagai pajangan. Jangan kaget bila etika meliput pengadilan, sama sekali tak pernah dijalankan oleh para wartawan yang meliput pengadilan. Demikian pula dengan etika peliputan lainnya.
            Wartawan penuh dengan standar profesi , yang berusaha menghasilkan pelaporan yang akurat dengan cara yang etis, pasti memperoleh kepuasan profesioanal. Mereka juga memperoleh kepercayaan dari pembaca dan penonton mereka, dan reputasi atas keterandalan organisasi berita mereka. Suratkabar, stasiun TV, atau stasiun radio yang dapat dipercaya dan diandalkan mempunyai peluang sangat besar untuk sukses secara komersial. Jadi, selain dorongan moral untuk mempraktikan jurnalisme yang beretika, ada pedorong ekonomis juga. Akhirnya, pemerintah akan cenderung kurang menerapkan standar pada media jika wartawan sendiri berpegang pada standar etika yang tinggi.
Dalam banyak hal, standar etiak profesi sangat diperlukan sekarang. Munculnya organisasi-organisasi media yang semakin bertambah besar, daur berita yang sudah memadat dari hari menjadi jam atau menit, dan kesadaran baru atas hubungan yang vital antara sebuah pers yang bebas dan masyarakat yang bebas telah mendorong minat mengembangkan standar etika. Ini terutama berlaku di sejumlah negara di Amerika Latin, Afrika, Eropa Timur, dan Asia, negara-negara yang dalam banyak kasus baru berubah menjadi demokratis dan berhadapan dengan meningkatnya tuntutan akan ekonomi global.



Peranan “Kode” Etik
            Kode etik tetap menjadi topik utama dalam setiap diskusi tentang etika jurnalisme. Perbedaan mencolok antara undang-undang dan etika, kode dan peraturan, sukarela dan wajib cepat muncul dalam pikiran banyak orang, begitu juga pertanyaan tentang pelaksanaannya. Di banyak bagian dunia, sejarah tentang pemerintah otoriter telah meninggalkan warisan tradisi dan lembaga yang dimaksudkan untuk mengatur praktik jurnalisme. Dalam sejumlah kasus, kode etik diperlakukan seperti undang-undang, dan praktik jurnalisme dibatasi hanya bagi kaum professional yang mendapat sertifikat atau izin dari organisasi-organisasi jurnalisme yang tunduk pada negara.
            Meskipun jurnalis bisa menentang peraturan pemerintah dengan dalih peraturan itu membatasi kebebasan pers, mereka menyadari perlunya prinsip-prinsip jurnalisme di berbagai tingkat profesi mereka. Itu termasuk kode oleh organisasi jurnalisme professional, dewan-dewan yang disponsori oleh para professional dan pemilik media untuk menegakkan standar, dan sejumlah pertanyaan kebijakan spesifik tentang standar dan etika oleh masing-masing organisasi berita.

Nilai-Nilai Kemanusiaan Fundamental dan Etika Jurnalisme
Praktik etika pada umumnya, dan dalam jurnalisme pada khususnya, bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan. Landasan universal ini – yang menjembatani benua, ras, dan bahasa – mencegah pembahasan tentang etika hanya menjadi masalah pribadi yang terpisah-pisah. Pengambilan keputusan etis bukan saja merupakan penerapan atas nila-nilai universal ini untuk menjawab pertanyaan tentang salah satu atau benar: tapi juga tentang suara-suara menentang yang harus dihadapi jika dua jenis nilai atau lebih saling bertentangan, sehingga kita harus memutuskan mana yang harus dipilih.

Langkah-langkah untuk membuat keputusan etika
Berikut adalah uraian proses pembuatan keputusan etika:
  1. Konsultasikan dengan Rekan Sejawat dan Redaktur. Langkah pertama mulai bila seorang jurnalis menemui masalah. Seorang jurnalis mungkin mengenali masalah etika hanya karena perasaan terdalamnya, suara hatinya, hati nuraninya – atau apalah namanya – mengingatkan bahwa seorang jurnalis mungkin pernah membuat keputusan yang tidak enak.. Mungkin ini disebabkan oleh pelatihan jurnalistik atau pedoman dari redaktur membuat seorang jurnalis sensitif terhadap sinyal marah etika.
  2. Jelaskan Problem Etika. Nilai-nilai apa yang terlibat? Apakah ini menyangkut masalah benar vs salah, atau masalah yang lebih sulit yaitu benar vs benar. Seorang jurnalis kemudian dapat mengidentifikasi tujuan berkaitan dengan nilai itu. Apa strategi untuk mencapai tujuan yang berkaitan dengan nilai itu dan tindakan khusus apa yang harus seorang jurnalis ikuti agar konsisten dengan nilai-nilai dan tujuannya.
  3. Lihat Kode Etik dan Pedoman. Kode etik organisasi profesi bisa menjadi pedoman yang sanagt berharga, bahkan yang lebih berharga, adalah panduan etika dan standar dari organisasi berita itu sendiri. Kode etik tertulis demikian jarang bisa mengatasi dilema khas kevuali dalam kasus-kasus yang sangat jelas. Akan tetapi, kode itu menyediakan parameter nagi sebuah solusi dan sangat membantu dalam mengarahkan diskusi tentang masalah etika.
  4. Ukurlah Tujuan Jurnalistik. Seorang jurnalis harus menyadari sejauh mana tujuan jurnalistik mempengaruhi cara seorang jurnalis menulis atau mempengaruhinya untuk melanggar batas-batas etika. Ini terjadi manakala seorang jurnalis berkata tidak punya waktu untuk menghubungi sumber kedua untuk menginformasikan fakta karena sudah dekat sekali dengan tenggat waktu, atau ketika takut kehilangan “scoop” jika harus menunggu untuk mengecek berita dengan lebih cermat.
  5. Kenali “stakeholder”, Orang-orang yang Mungkin Terkena Dampak Keputusan Itu. Seringkali ada kecenderungan mempertimbangkan sudut pandang dari orang-orang yang ada di dalam ruangan saja ketika membahas maslah etika. Seorang jurnalis harus berusaha kuat menyusun daftar orang-orang yang akan terkena dampak dari keputusan itu, dan berusaha menggambarkan secara obyektif kepentingan setiap orang dalam keputusan itu.
  6. Tanyakan Apa Saja Alternatifnya? Setiap berita dapat ditulis dalam banyak cara yang berbeda. Seringkali pilihan etikanya bukan antara menerbitkan atau tidak menerbitkannya. Keputusan etika seorang jurnalis mungkin adalah menulis berita itu dalam cara tertentu untuk mencapai efek jurnalistik sekaligus mengatasi sebuah dilema etika. Dalam beberapa kasus, menulis berita tambahan untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan merupakan solusi.
  7. Ambil Keputusan. Etika bukanlah untuk didiskusikan, betapapun kaya dan menariknya diskusi itu. Diskusi yang bagus bukanlah sebuah keputusan. Dalam jurnalisme, sebagai seorang jurnalis, harus bertidak dan bertangungjawab atas keputusan yang dibuatnya. Hal yang tidak boleh dilakukan seorang jurnalis adalah menunda keputusan. Dalam beberapa kasus, keputusan itu berupa menunda penerbitan agar berita bisa lebih adil, atau agar efek merusaknya berkurang – misalnya, menyimpan jatidiri korban sebuah kecelakaan sampai keluarganya diberitahu, tapi harus segera diambil keputusan, dan harus melakukannya pada saat yang tepat untuk memenuhi tenggat waktu.
8.   Mampu Menjelaskan Keputusan. Langkah ini kadang disebut “uji halaman depan”. Seandainya semua alasan dalam membuat keputusan dengan cara tertentu dibeberkan di halaman muka koran, mungkinkah keputusan seorang jurnalis akan sama? Adakah motif yang akan membuat seorang jurnalis merasa kurang enak kalau dibeberkan? Ini tidak berarti bahwa seorang jurnalis harus membebani pembaca dengan penjelasan untuk setiap kasus. Akan tetapi, ini memang berarti bahwa seorang jurnalis harus bertanya pada diri sendiri apakah pembeberan ke publik akan menjadi sebuah faktor dalam pengambilan keputusannya.


Acuan Pustaka :

Prayitno, Budi., peny. Etika Jurnalisme: Debat Global. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi dan Kedutaan Besar Amerika Serikat, 2006.
Dibalik Dua Karya Sastra Kontroversial: Langit makin Mendung dan Satanic Verses

            Di zaman ketika perkembangan teknologi canggih begitu cepat seperti sekarang ini, hampir tidak mungkin lagi kita berhubungan dengan benda budaya yang sepenuhnya asli. Jika di zaman lampau benda budaya bisa mencapai tempat lain dalam waktu yang lama, sekarang apa yang dihasilkan hari ini di London dapat dalam waktu yang sama diterima di Jakarta[1]. Sastra, sebagai salah satu benda budaya, terkena pula imbas dari perkembangan itu. Karya sastra yang ‘sama’ banyak ditemui di berbagai belahan dunia manapun. Ke’sama’an itu bisa berupa tema yang sama, pilihan kata yang sama, ide yang sama, gaya yang sama, dan sebagainya. Kemungkinan ke’sama’an itu terjadi karena banyak hal. Ada yang karena kebetulan sama, sebelumnya pernah mendengar atau melihat di suatu tempat, atau memang disengaja dengan suatu alasan tertentu.
            Ibnu Wahyudi, Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, membuat sebuah tulisan yang berisi tentang komentarnya terhadap dua karya sastra kontroversial berjudul “Langit Makin Mendung”, sebuah cerpen karya Ki Pandjikusmin, dan The Satanic Verse, sebuah buku karya Salman Rushdie. Dua karya sastra ini ‘sama-sama’ menghadirkan tokoh-tokoh yang sangat dijunjung dan dimuliakan umat muslim dengan citra yang mencederai pemahaman yang selama ini sudah terbangun. Ibnu Wahyudi melihat polemik ini sebagai masalah sastra bandingan yang tidak perlu terlalu dirisaukan karena menurutnya karya sastra ialah karya fiksi yang semata-mata hasil reka imajinasi belaka. Permasalahan pada cerita yang dirasa menyinggung harga diri kalangan tertentu dan pemakaian karakter dan nama tokoh yang sama dengan nama tokoh tertentu, hendaknya dilihat berdasarkan kacamata sastra sebagai ‘produk imajinasi’ yang tidak ada kaitannya dengan ‘kesengajaan’ atau bisa dibilang ‘kebetulan belaka’ dan ‘fiktif semata’.[2]
            Pada masa saat kedua karya sastra ini muncul, berbagai kontroversi tentang isi cerita dan keberadaan pengarangnya memang membuat banyak kalangan merasa harus bicara. H.B Jassin dalam artikelnya yang bertajuk “Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kebebasan Mencipta”[3] membela karya Ki Pandjikusmin dengan menulis, “maka apabila seorang pengarang atau seorang pelukis menggambarkan Tuhan dengan kata-kata, dengan lukisan ataupun dengan patung, dia tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi Ide Ketuhanan. Demikian pula orang lain, umat yang melihat, mereka tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi Ide Ketuhanan.”[4] Goenawan Muhammad pun ikut berkomentar dalam tulisannya yang berjudul “Tentang Kemungkinan-Kemungkinan Kesusasteraan.”[5] Ia menulis, “kesusasteraan adalah sesuatu yang berada dalam kehidupan, maka ia bukan saja menghidupkan kembali variasi-variasi itu, tapi juga menciptakan variasi-variasi yang baru, yang mungkin salah satu di antaranya tak terduga-duga. Dengan kata lain, kesusasteraan bisa memberontak. Kaidah ditinggalkan. Dalam memberontak ia bisa berbahaya dan menggelisahkan.”[6] Kedua tokoh sastra tersebut menanggapi polemik yang dianggap menghina umat Muslim ini dengan mencoba mengambil posisi sebagai seorang sastrawan yang mengerti betul kemana tujuan karya sastra itu dibuat. Mereka tidak gegabah mengambil sudut pandang yang tanpa pikir panjang menilai buruk sebuah karya sastra. Mereka dengan seksama membaca pesan dibalik karya Ki Pandjikusmin ini dengan intelektualitas mereka sebagai orang yang mengerti betul tentang sastra.
            “Langit Makin Mendung” dan The Satanic Verse, memang kelihatannya mengabaikan aturan tidak tertulis yang dibuat oleh orang-orang Muslim tentang peraturan yang tidak boleh menggunakan ataupun menggambar karakter Tuhan, Nabi, dan Malaikat—apalagi karakter mereka dipelesetkan. Meskipun begitu,  “Langit Makin Mendung” dan The Satanic Verse tentunya memiliki pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Pesan yang seharusnya bisa dimengerti dan dimaklumi oleh berbagai kalangan yang kontra terhadap dua karya sastra tersebut.
            Senada dengan yang disampaikan Ibnu Wahyudi, persoalannya ada pada keterbukaan, kedewasaan, dan kemampuan mencerna apa-apa yang dibaca. Sebab, tanpa bekal ataupun ketepatan dalam mengambil posisi yang pas, akan selalu ada efek yang barangkali merugikan dan menimbulkan kesalahpahaman.[7] Oleh karena itu, kita hendaknya melihat segi positif apapun jenis karya sastra. Dengan melihat segi positifnya, niscaya kita bisa mengambil hikmah tentang amanat yang ingin disampaikan pengarang di dalam karyanya. Bisa saja salah satu caranya dengan sindiran atau ironi yang tersirat. Dengan begitu, pembaca dibimbing menjadi pembaca yang intelek, tanpa harus selalu dibeberkan secara gamblang tentang maksud  pengarang lewat karyanya.


Daftar Pustaka

Dahlan, M. Muhidin dan Hermani, Mujib (ed.). 2004. Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung, Ki Pandjikusmin, Jakarta: Melibas.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.


[1] Sapardi Djoko Damono, Pegangan Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta, 2005), hlm. 18.
[2] Lihat Artikel berjudul ”Ambivalensi Fiksi vs. Resepsi Berbasis Imani”, diterbitkan Syir’ah, Tahun IV No. 31, Juni 2004.
[3] Artkiel ini diterbitkan Horison, Tahun II No. 11, November 1968.
[4] H.B Jassin, lihat Artikel “Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kebebasan Mencipta”.
[5] Artkiel ini diterbitkan Horison, Tahun III No. 10, Oktober 1968.
[6] Goenawan Muhammad, lihat Artikel “Tentang Kemungkinan-Kemungkinan Kesusasteraan”.
[7] Lihat Artikel berjudul ”Ambivalensi Fiksi vs. Resepsi Berbasis Imani”, diterbitkan Syir’ah, Tahun IV No. 31, Juni 2004.
MEMAHAMI PUISI MELALUI ALIRAN IMPRESIONISME

Puisi adalah karya seni yang puitis. Puitis dikonotasikan mengandung nilai yang khusus dan punya arti yang dalam. Dalam karya sastra, aspek puitis dapat disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan. Aspek puitis dalam puisi dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual seperti tipografi, susunan bait; dengan bunyi seperti persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan diksi seperti bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Dalam mencapai aspek kepuitisan itu, penyair mempergunakan banyak cara secara bersamaan untuk mendapatkan jaringan efek puitis sebanyak-banyaknya.
Salah satu sastrawan yang menggabungkan berbagai aspek puitis dalam puisinya adalah Sitor Situmorang. Sitor Situmorang merupakan salah seorang penyair angkatan 45 yang cukup banyak melahirkan karya sastra –terutama puisi– dengan ciri khasnya berupa pilihan kata yang banyak merefleksikan kesepian dirinya. Bentuk puisi Sitor banyak berkiblat kepada puisi lama seperti pantun, dan syair. Pengaruh sastra Eropa “The Tale of Two Continents” yang ditulis oleh Baudelaire juga turut mempengaruhi karya-karya Sitor, terutama dalam hal pemilihan struktur kebahasaan seperti lambang, kiasan, dan diksi. Hal itulah yang membuat banyak sastrawan menganggap sosok Sitor sebagai penyair liris pendebah kesepian, keterasingan dalam bentuk-bentuk simbolis.
            Memahami puisi-puisi Sitor Situmorang sebenarnya tidaklah terlalu rumit. Bahkan bisa dikatakan gampang, karena susunan kata dan frase Sitor segera meninggalkan gema di hati dan kepala. Dalam setiap karyanya, Sitor Situmorang tidak akan pernah lepas dari kedekatannya kepada bunyi alam atau nyanyian anak.
Namun, jangan lekas mengatakan Sitor Situmorang sebagai penyair kuno hanya karena ia selalu merasa terikat dengan penggunaan bentuk puisi lama, seperti pantun dan soneta. Sebenarnya Sitor pun telah banyak menulis puisi-puisi yang bersentuhan langsung dengan masa lampau dan tradisi masa kini.
Sitor Situmorang dalam kumpulan sajaknya “Biksu Tak Berjubah” merefleksikan dirinya ke dalam setiap puisinya. Corak impresi atau biasa disebut aliran impresionisme tampak jelas tertulis dalam tiap larik. Oleh karena itu, penulis memfokuskan pembahasan puisi-puisi Sitor Situmorang ke dalam telaah penyair dan kenyataan sejarah berdasarkan aliran impresionisme.
Aliran impresionisme adalah gaya penceritaan penyair yang menjadi ciri karakteristik sebuah karya sastra yang menggambarkan kesan pribadi penyair terhadap kenyataan hidup. Apa yang dikemukakan dalam sajak adalah kesan penyair setelah menghayati kenyataan hidup itu. Adapun obyek kenyataan hidup itu dapat berupa manusia, peristiwa, benda, dan sebagainya. Namun perlu diingat bahwa kenyataan itu bukan hanya digambarkan apa adanya, namun lebih dari itu harus menimbulkan kesan, atau bertujuan untuk mengemukakan kesan atau maksud pribadi penyair.
Penulis merasa perlu melakukan fokus analisis untuk menyederhanakan konsep pemikiran tentang Sitor dan karya-karyanya. Penulis memilih aliran impresonisme sebagai kedekatan atas karakterisitik setiap puisinya karena setelah penulis telaah kembali sajak-sajak dalam BTB, hampir keseluruhan sajak Sitor beraliran impresionisme. Penulis menghubungkan aliran impresionisme sebagai garis besar dari telaah enam puisi yang penulis bahas. Penulis tidak menutup pembahasan tentang tema, amanat, serta struktur fisik ataupun batin dalam analisis penulis.


Biksu Tak Berjubah: Impresionisme Sitor Situmorang

            Sajak-sajak Sitor Situmorang yang terkumpul dalam Biksu Tak Berjubah lebih ditujukan kepada sisi dokumentasi, ketimbang pilihan berdasarkan nilai sastranya. Terkumpul dalam Biksu Tak berjubah sajak-sajak Sitor yang tercecer dalam berbagai penerbitan dan yang belum pernah dipublikasikan atau tersimpan dalam dokumentasi pribadi Sitor, pengamat sastra Kees Snoek di Belanda maupun di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Sajak-sajak tersebut berasal dari masa paling awal kepenyairan Sitor di tahun 1948, sampai dengan sajak yang ditulisnya beberapa saat sebelum genap berusia 80 tahun pada 2 Oktober 2004.
            Ada lima bagian sajak dalam BTB yang menandakan periodesasi kepenyairan Sitor dan disusun secara kronologis. Bagian pertama, “Dari Satu Perjalanan”, berisi 12 sajak yang dihasilkan Sitor selama rentang waktu 1948 sampai dengan keberangkatannya ke Eropa atas tanggungan dari Sticusa (Sticting culture samen werking) pada tahun 1950. Bagian kedua yaitu “Siul Depan Jendela”. Bagian ini memuat sajak-sajak yang meliputi periode 1951-1961. Sajak-sajak dari periode ini sebelumnya telah dirangkum dalam tiga kumpulan, yakni Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1954), dan Wajah Tak Bernama (1955). Akan tetapi, ternyata masih banyak sajak-sajak dari periode ini yang lumput dari rangkuman tiga kumpulan tersebut.
Bagian ketiga yaitu “Hari Bebas”, berisi 25 sajak yang ia buat setelah ia bebas dari penjara. Periode pembuatan puisi dilakukan selama tiga tahun dari 1976-1979. Bagian keempat “Syair Karma di Musim Bunga” memuat sajak-sajak dari periode 1980, saat Sitor memutuskan untuk tinggal di Eropa, sampai dengan kembalinya ke Indonesia pada tahun 2000. Bagian ini memuat 14 sajak yang tercecer tidak masuk dalam kumpulan yang telah terbit untuk periode ini, seperti Angin Danau (1982), Bunga Di Atas Batu (1989), Rindu Kelana (1993), dan Paris la Nuit (2000). Bagian terakhir “Kutatap Wajah Waktu” meliputi periode 2000-2004. Ada 15 sajak di dalamnya. Sajak-sajak itu menandakan bahwa proses kreatif Sitor belum berhenti.
Puisi-puisi dalam Biksu Tak Berjubah, hampir keseluruhannya merupakan celoteh Sitor terhadap kritik keadaan yang menimpa diri dan lingkungannya. Sajak-sajak dari masa awal kepenyairan Sitor merupakan perspektif yang dalam beberapa suntingan lebih mengikuti pandangan sosok Sitor sebagai penyair liris pendebah kesepian, keterasingan dalam bentuk-bentuk simbolis. Penyair yang lebih banyak merisaukan nasibnya sendiri sebagai individu. Penyair yang tidak mewakili jiwa bangsanya dan tidak mewakili suasana umum zamannya. Penyair yang dalam sajaknya hanya seperti adanya, yakni seseorang yang terpisah oleh waktu dan ruang dari dunia sekelilingnya.
Penulis membuat telaah enam puisi diantaranya “Sajak Pohon Randu”, “Kereta Api Bima”, “Pesta dan Tari”, “Biksu Tak Berjubah”, “Istri”, dan “Nusantara”. Berikut telaah yang penulis lakukan berdasarkan aliran impresionisme Sitor Situmorang.


  1. Telaah puisi Sajak Pohon Randu


SAJAK POHON RANDU

Kuingin tulis sajak
penyerahan mutlak
kepada alamraya
                    
menyatu dengan hayat
tanpa kata
tanpa aksara

Betapa ingin
kutulis
sajak mutlak
pohon randu

menjulang
di depan mata
di hari senja
kemesraan hidup

di relung Borobudur hatiku.


Puisi di atas terdiri dari lima bait dan tiap bait terdiri atas tiga hingga empat larik. Puisi ini tergolong ke dalam puisi modern karena tidak terikat oleh pembagian bait, baris, dan persajakan. Puisi yang berjumlah 15 larik ini bentuknya hampir mirip Soneta karena dilihat dari susunannya yaitu dua bait pertama masing-masing terdiri atas tiga larik dan dua bait terakhir masing-masing terdiri dari empat larik. Begitu juga jika ditelaah dari segi isinya, puisi di atas sedikit bercorak romantisme sentimentil.

menyatu dengan hayat/ tanpa kata/ tanpa aksara.... menjulang/ di depan mata/ di hari senja/ kemesraan hidup


            Diksi tersebut seolah-olah menggambarkan harapan yang sangat dalam sehingga pembaca seperti merasakan kesedihan Aku lirik. Sifat sentimentil dan cengeng Aku lirik menyikapi hidup adalah formula cetak biru corak romantisme sentimentil pada umumnya. Pertimbangan rasio pada aliran ini sering dinomorduakan. “Menyatu dengan hayat” secara harfiah memiliki pengertian tindakan bersatu dengan nyawa. Sedangkan secara aspek puitis memiliki makna mempertemukan perasaan atau menyerahkan diri.
Dari dua sudut pandang pengertian tersebut, ‘bersatu dengan nyawa’ dan ‘mempertemukan perasaan’, pertimbangan rasio sengaja dikonotasikan penyair dengan pilihan kata yang hiperbolis dan simbolis. Meskipun begitu, puisi berjudul Sajak Pohon Randu bukan becorak romantisme sentimentil. Puisi ini, menurut kami, lebih bercorak impresionisme karena menggambarkan kesan-kesan dalam diri pribadi penyair. Apa yang dikemukakan dalam puisi tersebut adalah kesan penyair setelah menghayati kenyataan hidup itu. Kesan-kesan yang timbul dari kenyataan diolah dalam batin penyair, kemudian penyair membuat deskripsi tentang kesannya itu ke dalam puisi. Maksud utama puisinya adalah menjelaskan kesan yang terdapat dalam pikiran, perasaan, dan kesadaran penyair dan bukan mendeskripsikan secara terperinci kenyataan itu.
Sajak Pohon Randu bercerita tentang perasaan sepi dan kesendirian Aku lirik di dunia ini. Bait pertama menggambarkan betapa dalamnya kesedihan yang dirasakan Aku lirik.

Kuingin tulis sajak/ penyerahan mutlak/ kepada alamraya


Aku lirik sangat ingin menyerahkan diri kepada alam. “Penyerahan mutlak” disini memiliki makna pasrah dan berserah diri sepenuhnya kepada kebebasan. “Alamraya” dapat berarti kebebasan yang ingin dirasakan Aku lirik. “Kuingin tulis sajak penyerahan mutlak” adalah keinginan Aku lirik membenahi garis nasibnya sendiri. “Pohon randu” menjadi simbol naungan atau keteduhan Aku lirik di alam bebas. “Pohon Randu” juga dapat bermakna perasaan cinta Aku lirik yang ingin digapainya.
Pada bait keempat, penyair menggambarkan harapannya terhadap masa depannya. “Menjulang di depan mata” memiliki makna tampak jelas di hadapan Aku lirik. “Di hari senja kemesraan hidup” bermakna di saat umur Aku lirik yang sudah tua. Dan maksud dari “di relung Borobudur hatiku” adalah perasaan Aku lirik yang sepi.
Sitor Situmorang sepertinya membuat puisi ini sebagai wujud kesepian dirinya akan nasib yang menimpanya. Pada tahun 1976 ia dibebaskan dari penjara setelah delapan tahun menjalani hukuman di balik sel. Ia dipenjara karena dituduh telah melakukan pemberontakan lewat esainya yang berjudul “Sastra Revolusioner”. Sitor merasa kesepian karena semua orang sepertinya memilih diam. Hingga ia dikeluarkan dari penjara ia tidak pernah mengetahui kesalahannya. Sitor merasa bahwa ia hanya sendiri di dunia ini. Ia merasa bahwa bentuk perjuangannya melalui karya-karyanya tidak ada yang mengakui saat itu.



  1. Telaah puisi Kereta Api Bima


KERETA API BIMA

Kereta menuju timur
nembus malam
diburu mimpi
kebebasan jalan
di dataran luas negeri

Antara Merapi
dan gugusan Gunung Lawu
kucari tahu yang satu

Kepundan Merapi
menjulang di keluasan
sawang malam candi-candi

padat
segala hal
yang serba mungkin

dalam jadwal waktu
serba tunggal
dan kekal

Puisi di atas terdiri dari lima bait dan tujuh belas larik. Puisi diatas merupakan puisi modern karena strukturnya bebas dan tidak terikat. Puisi Kereta Api Bima bercerita tentang kesan Aku lirik saat berada di dalam kereta. Kesan tersebut ditangkap oleh pencitraan penglihatannya saat ia duduk sambil melihat ke luar jendela kereta.

Kereta menuju timur/ nembus malam/ diburu mimpi/ kebebasan jalan/ di dataran luas negeri

Saat itu Aku lirik sepertinya sedang bergegas menuju sebuah tempat yang terletak di Jawa Tengah atau Yogyakarta. Aku lirik berangkat menggunakan kereta ekspress yang berangkat malam hari. “Di buru mimpi” disini memiliki makna keretanya sangat cepat sampai-sampai orang-orang yang naik kereta itu tidak sempat bermimpi indah karena keretanya sudah sampai di tempat tujuan.

Kepundan Merapi/ menjulang di keluasan/ sawang malam candi-candi


Pada bait ini, seolah-olah pembaca dapat melihat keindahan siluet lereng gunung merapi di saat subuh. Pencitraan penglihatan ditonjolkan kepada pembaca agar kesan impresi yang dirasakan penyair dapat juga dirasakan pembaca.

Padat/ segala hal/ yang serba mungkin/ dalam jadwal waktu/ serba tunggal/ dan kekal


Bait ini menggambarkan betapa sempitnya waktu yang Aku lirik punya. Sitor sebagai sudut pandang pertama Aku lirik merasakan betapa indah dan luas dataran di negeri Indonesia. Jika ditilik dari sejarah Sitor pada tahun pembuatan puisi ini, puisi ini bisa juga diartikan keinginan Sitor merasakan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Tidak diatur dan bisa berkeliling kemanapun tanpa larangan adalah impresi yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca. Setelah Sitor keluar dari penjara, ia measih harus menjalani tahanan rumah selama dua bulan. Mungkin hal inilah yang melatarbelakangi Sitor membuat puisi ini.



  1. Telaah puisi Pesta dan Tari

PESTA DAN TARI

Pesta dan tari,
pesta dengan genderang dan tamtam,
malam ini aku tidur di gunung-gunung,
berselimut kemerdekaan
berbantalkan senjata musuh.

Puisi di atas hanya terdiri atas satu bait dan lima larik. Puisi ini termasuk puisi modern karena tidak terikat dengan konvensi puisi lama. Hal paling menarik dari puisi ini adalah pemadatan bahasanya. Tiap larik memiliki makna yang lebih luas dari kalimat biasa. Pengimajian (pencitraan) yang tersirat di dalamnya adalah imaji auditif (pendengaran), terwakili oleh larik ...pesta dengan genderang tamtam. Tema yang diangkat penyair adalah tema kebebasan. Hal ini dapat dilihat dari pilihan kata ...berselimut kemerdekaan/ berbantalkan senjata musuh.
Gaya bahasa yang muncul adalah gaya bahasa metafor, yang dapat kita temukan dalam dua larik terakhir ...berselimutkan kemerdekaan ..berbantalkan senjata musuh. Dua larik terkhir itu juga merupakan simbol atau lambang bagi kemenangan yang telah diraih. ‘Kemenangan’ yang dimaksud adalah kemenangan karena Sitor Situmorang baru bebas dari penjara. “Berbantalkan senjata musuh” mewakili perasaan bangga karena merasa telah mengalahkan musuh dengan kebebasannya dari penjara. Puisi ini mengungkapkan perayaan kemenangan atas kebebasan Aku lirik. Hal yang dirayakan dengan pesta, tari, dan genderang, serta tamtam. Perasaan atau suasana yang ada adalah kepuasan. Rasa puas dan suasana gembira mendominasi tiap larik puisi ini.
Aliran yang dipakai oleh penyair adalah aliran impresionisme. Kesan yang timbul oleh batin pengarang setelah ia memenangkan pertempuran melawan musuh adalah impresi Sitor Situmorang yang ingin ditujukannya dalam puisi ini. Impresi pertempuran melawan musuh adalah kesan pribadi Sitor saat ia dipenjara tahun 1967-1975. Pertempuran melawan musuh diibaratkan perjuangan Sitor yang tidak pernah berhenti meskipun ia dipenjara. Selama dipenjara, ia masih tetap berkarya. Ia tetap mengkritik kebobrokan pemerintahan Indonesia saat itu.


  1. Telaah puisi Biksu Tak Berjubah

BIKSU TAK BERJUBAH

Taklukan kota Paris
mimpiku dulu
angan-angan muda:
menggegerkan langit!
Tapi langit bisu saja.

Paris pun jadi tua
aku dewasa
pasrah seperti biksu tua
berkemas

masuk biara matiraga
tanpa jubah—
dituntun tangan
meraba-raba
di gerbang cinta
alam semesta
nusantara


Puisi ini terdiri atas tiga bait dan enam belas larik. Pemadatan bahasa yang digunakan sangat efektif. Dalam tiap larik mengandung makna yang lebih luas dari kalimat. Gaya bahasa yang muncul adalah gaya bahasa personifikasi dan simile. Gaya bahasa personifikasi muncul pada larik kelima bait pertama ... Tapi langit bisu saja/ Paris pun jadi tua.  Gaya bahasa simile muncul pada larik kedua dan ketiga bait kedua ...aku dewasa/ pasrah seperti biksu tua. Pengimajian (pencitraan) yang ada adalah imaji rasa, terlihat pada bait terakhir puisi ...dituntun tangan/ meraba-raba. Tema yang diangkat penyair adalah keterasingan.
Puisi ini bercerita tentang Aku lirik yang berhasil mewujudkan keinginannya tinggal di Paris. Akan tetapi, setelah ia tinggal di Paris, gelora yang dulu menyemangatinya hilang seiring dengan umurnya yang semakin tua. Puisi ini sebenarnya merefleksikan diri Sitor saat ia mengasingkan dirinya ke Eropa. Saat itu ia memutuskan untuk tinggal di Paris setelah kebebasannya dari penjara. Di satu sisi ia sedang muak dengan Indonesia, dan di sisi lain ia memang sangat ingin pergi ke Paris. Sedari kecil Sitor memang sudah berangan-angan ingin ke Paris. Akan tetapi, setelah angan-angannya terwujud, perasaan bahagia itu tidak ia rasakan betul. Berikut kutipan bait yang menyatakan hal tersebut:

Paris pun jadi tua/ aku dewasa/ pasrah seperti biksu tua/ berkemas

“Pasrah seperti biksu tua berkemas” memiliki makna Aku lirik, dalam hal ini adalah Sitor, terkesan terpaksa pergi ke Paris karena tuntutan yang harus dilaluinya. ‘Tuntutan’ disini adalah kondisi yang tidak memungkinkan untuk Sitor tinggal di Indonesia.
Sitor sebagai orang Indonesia agaknya tidak bisa melupakan kampung halamannya yaitu desa Harianboho di Sumatera Utara. Sepertinya ia merasakan kerinduan dan kekaguman yang mendalam kepada tanah airnya. Berikut kutipan bait terakhir yang menyatakan hal tersebut:

masuk biara matiraga/ tanpa jubah—/ dituntun tangan/ meraba-raba/ di gerbang cinta/ alam semesta/ nusantara





  1. Telaah puisi Istri


ISTRI

Cinta terbagi
Membunuh diri
Tangispun sepi

           
            Puisi ini jelas merupakan puisi modern karena hanya terdiri dari satu bait. Puisi ini bila dibacakan akan muncul sebuah nada yang menarik. Nada yang muncul adalah /i/, /i/, /i/. Nada dengan akhiran /i/ akan mensugesti pembaca untuk merasakan kedalaman maksud dari puisi ini. Maksud atau tema dari puisi di atas adalah kesepian. Berarti dalam nada /i/ tersebut, kita dapat hayati sikap penyair yang secara tersirat ingin menyampaikan perasaan kesepiannya yang mendalam. Mendalam karena cintanya terbagi pada dua istri. Ia lirik merasa bersalah lalu ia lirik pun memutuskan untuk menyimpan kesedihannya sendiri.
Puisi di atas adalah impresi Sitor ketika ia menikah lagi dengan seorang diplomat berkewarganegaraan Belanda bernama Barbara Brouwer. Sitor menikah dengannya saat menetap di Belanda dan mengajar sebagai dosen disana. Sitor sepertinya ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa ia masih sayang dengan almarhum istri pertamanya. Sitor merasa cintanya terbagi meskipun ia menikah dengan Barbara setelah istri pertamanya meninggal.



  1. Telaah puisi Nusantara

NUSANTARA

Rindu tanpa batas
pada isi terpendam
angin lintas
bisik bibir kelu
gunung api terbalut awan.

Kesuburan lengang

pagi penjadian bumi dan
sepihnya danau di atas dan danau
di bawah sana – ketika kau lahir
serta alam melepas syair
tanpa kata
di payudara Eva
Di sini
Di sebelah timur Firdaus.

           
            Puisi di atas adalah puisi modern yang terdiri dari tiga bait dan 14 larik. Puisi di atas menceritakan kerinduan yang tidak mengenal jarak dan waktu kepada tanah air. Penyair mengkonotasikan keindahan alam yang membuat ia terus merindukan tanah airnya dengan kalimat:

pagi penjadian bumi dan/ sepihnya danau di atas dan danau/ di bawah sana – ketika kau lahir/ serta alam melepas syair/ tanpa kata/ di payudara Eva/ Di sini/ Di sebelah timur Firdaus.

            Konotasi “di payudara Eva” bermakna gambaran keindahan sosok perempuan Indonesia yang sama indahnya dengan keindahan alam Nusantara. Sitor membuat puisi ini untuk mengesankan kepada pembaca bahwa ia sangat rindu pulang ke Indonesia. Ia ingin mengajak pembaca untuk ikut merasakan kerinduannya dengan membawa pembaca melihat keindahan alam Indonesia. Permainan kata dan simbolis kalimat dipakai Sitor untuk pengimajian penglihatan agar seolah-olah pembaca terbuai dengan keindahan yang ingin ditujukan dari puisinya.
                                                                                                     



KESIMPULAN


Menurut penulis, sebagai seorang sastrawan periode 1945-1963, Sitor telah berhasil memberikan roh kepada setiap puisinya. Ia menggunakan bahasa sehari-hari namun dengan pilihan kata yang mengemukakan pengalaman batin yang mendalam dan mengungkapkan intensitas arti. Puisinya adalah puisi bebas yang tidak terikat oleh pembagian bait, baris, dan persajakan. Gaya bahasa yang dipergunakan banyak menggunakan metafora dan simbolik. Gaya sajaknya prismatis, hubungan larik dan kalimat-kalimatnya bersifat implisit. Jika dilihat dari struktur isi atau struktur tematisnya, Sitor banyak mengekspresikan eksistensi dirinya, sebagai tanda adanya individualisme yang menonjol, dalam hal ini menyangkut pada hubungan aliran impresionisme pada setiap puisinya. Selain itu, Sitor juga melukiskan kehidupan batin manusia melalui peneropongan batinnya sendiri.