facing side is my favorite position when photographed

Minggu, 30 Januari 2011

Absurdisme Sutardji Calzoum Bachri, Darmanto Jatman dan Yudhistira

Buku Secrets Need a Words dalam bentuk aslinya adalah antologi bilingual puisi Indonesia yang ditulis sepanjang periode sejarah “Orde Baru” sejak 1965 sampai 1998. Diedit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dengan menggunakan teknik terjemahan bebas. Diterbitkan kembali sebagai antologi monolingual dengan judul Rahasia Membutuhkan Kata. Antologi ini memuat 118 puisi dari 24 penyair. Antologi ini dibagi menjadi dua bagian yang menampilkan dua generasi yang berbeda, 1965—pertengahan 1980 dan 1980—1998. Ada delapan bab yang disusun secara kronologis dan tematik dalam antologi ini.
Pembagian kelompok penulis berdasarkan angkatan merupakan ciri khas dalam sejarah sastra Indonesia. H.B Jassin menggunakan istilah angkatan dengan membaginya menjadi, “Angkatan 20-an”, “Angkatan 30-an”, “Angkatan 45”, dan  “Angkatan 66”. Rene Wellek menganggap bahwa istilah-istilah periode adalah nama-nama untuk sistem norma yang mendominasi sastra pada masa tertentu dari proses sejarah.
Awal tahun 70-an, Orde Baru telah membangun suatu pola kebijakan ekonomi dan birokrasi pemerintahan tersendiri yang demikian kuat hingga 1990-an, dan memberikan pengaruhnya yang sangat penting bagi penciptaan sastra. Perubahan pertama adalah pergeseran menuju sebuah ekonomi pasar terbuka, yang dengan ketat diawasi oleh pemerintah. Penanaman modal asing adalah kekuatan utamanya. Pancasila dijadikan ideologi pembangunan dan dijadikan “tameng” dari banyaknya kritik tentang pembagian keuntungan ekonomi.
            Indonesia bergerak menuju pemerintahan yang dijalankan oleh politik penguasa. Aktivitas politik di luar politik pemerintah (Partai Golkar) diancam dengan dogma-dogma sehingga rakyat tetap buta politik. Kesadaran dan pengetahuan politik rakyat menjadi sangat rendah. Kritik dan komentar sosial dianggap potensial sebagai perbuatan politik ilegal. Struktur otoritas didominasi oleh personil militer sebagai wujud kebijakan dwifungsi ABRI. Pejabat militer ditempatkan pada posisi penting birokrasi hampir di seluruh departemen pemerintah. Militer dilatih untuk berani dalam membuat keputusan yang tegas, tidak ada ruang untuk sikap ragu-ragu atau sentimental seperti kehidupan para penulis dan pembaca sastra. Selain itu, semakin sedikit pula ruang yang tersedia untuk opini sosial akibat pembatasan hukum pada ekspresi yang jujur dan opini pribadi, khususnya opini yang bersebrangan dengan Presiden dan Pemerintah.
            Sementara itu, pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan kebebasan berserikat, berpikir dan mengeluarkan pendapat dan lain-lain akan dilindungi oleh undang-undang, dipahami oleh pemerintah dengan arti bahwa hak-hak ini hanya bisa ditentukan oleh undang-undang. Legalisasi hak untuk mengkritik, sebagaimana yang ditentukan oleh pemerintah, mempunyai akibat lain bagi penulis, yakni terjadinya penolakan terhadap sesuatu yang mengarah pada sosialisme, ideologi sayap kiri, dan kekacauan1965, serta terciptanya batas antara sastra dan politik. Kondisi ini kian memburuk karena diperkuat oleh tindakan pemerintah dengan pelarangan penulisan, penangkapan, dan penahanan penulisnya.
            Arif Budiman mengatakan bahwa kritik sosial dalam kesusastraan modern masih muncul, tetapi tidak memiliki dampak yang kuat pada masyarakat yang lebih luas. Berdasarkan latar belakang tersebut, situasi kesusastraan Indonesia tampaknya tidak mengalami perkembangan yang berarti sampai beberapa tahun berikutnya.
Salah satu ciri yang menonjol dari tulisan prosa kontemporer adalah pelukisan suasana berunsur humor. Ciri seperti ini terdapat pada puisi Rendra dan Taufiq Ismail pada akhir tahun 1960-an. Juga terdapat pada puisi-puisi Iwan Simatupang (nonrealis), Danarto (absurd), Putu Wijaya (surealis), Budi Darma (fantastik). Sikap main-main dan pribadi yang tidak serius terhadap bahasa dan masyarakat menjadi karakter yang menonjol pada puisi-puisi Sutarji Calzoum Bachri, Darmanto Jatman, dan Yudishtira yang ditulis sekitar awal 1970-an. Menurut Remy Sylado, sajak bukan benda keramat, karena sajak bisa dibuat dengan mudah dan bisa dipergunakan untuk apapun termasuk untuk mengejek, membuat kejutan, dan melucu.
            Sutardji menjelaskan pendekatannya pada puisi dalam “kredo puisi”-nya tanggal 30 Maret 1973. Menurutnya, “kata-kata bukanlah alat yang mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang mengantarkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri.” Pengertian adalah bentuk penjajahan atas kata-kata dan ide-ide adalah pembebanan. Sutardji menyatakan bahwa melalui puisinya, ia telah membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus, gramatika dan moralitas. Satu-satunya tugas Sutardji sebagai penyair adalah membiarkan kata-kata membentuk maknanya sendiri dan mendapatkan ’aksentuasi yang maksimal’. Sutardji menyimpulkan, ”menulis bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantra. Maka, menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata pada mantra.”
            Puisi Sutardji berkaitan dengan Tuhan, sering kali dengan penghilangan keberadaan subjek. Puisi konkret “Pot” mungkin mengacu pada pot bunga, periuk, obat terlarang (di berbagai wilayah di Indonesia biasa dipakai untuk memasak dedaunan tanaman terlarang dan sama sekali tidak ilegal). Suara bergelombang yang dihasilkan oleh pengulangan kata ”pot…pot…pot…” mungkin menggiring pendengarannya untuk memutuskan cangkir kopi sebagai subjek yang sesungguhnya dari puisi tersebut, tetapi makna sebenarnya tentu saja arbitrer seperti puisi-puisi yang lain.
            Selain tema Tuhan, seksualitas manusia menjadi salah satu tema yang menarik bagi Sutardji. Selain bermakna keintiman, puisi tersebut juga menyiratkan bahwa cinta bisa berubah menjadi serangan atau kekerasan. “Mesin Kawin” dan “A Gift of Lobe from an Indonesian Gentleman…” keduanya dipengaruhi nada main-main yang menunjukkan keinginan untuk mengejutkan pendengarnya. Sutardji bereksperimen dengan suara dan pola kata-kata, tetapi cenderung menulis dalam bentuk Melayu-Indonesia.
Puisi Darmanto Jatman lebih ‘serampangan’. Jika dilihat dari panjang barisnya, Darmanto sering kali mencampur kata-kata dari bahasa Indonesia, Jawa, Inggris, Belanda, Hawai dan Cina secara bersamaan. Penggunaan bahasa yang campur aduk ini mungkin merupakan ciri pengucapan bahasa Indonesia para urban muda, yang dibuat-buat untuk mengucapkan lafal-lafal asing. Dalam buku puisinya yang pertama, Bangsat, Darmanto berpusat pada dirinya sendiri dan persoalan masa remaja: kerja, cinta, moralitas, dan agama Katolik. Tulisan Darmanto tidak menempatkan Timur dan Barat sebagai pihak yang saling melawan, tetapi mencampurkan Timur dan Barat dalam satu budaya Indonesia yang baru.
            Yudhistira adalah yang paling tidak serius dari ketiga penyair absurd tersebut. Puisinya tampil lebih dari sekedar humor getir. Dibaliknya tersimpan kepahitan pada ketidakadilan yang garang di masyarakat Indonesia saat ini. Puisinya dibuat seperti “simbol dan slogan” yang dapat dengan bebas menampilkan imaji kepentingan masyarakat, sementara sebenarnya mempromosikan kepentingan pribadi mereka sendiri dengan tanpa merasa bersalah atau malu.
            Tidak semua kritikus menerima semua kedangkalan sastra tahun 70-an tersebut. David Hill misalnya, ia telah mengemukakan bahwa gaya “fantastis dan absurd” yang berkembang sepanjang dekade ini tidak mempunyai kaitan dengan masa sosial masa ini. Gaya penulisan semacam itu merupakan reaksi terhadap tekanan peraturan kenegaraan dan analis yang dapat dibuat dengan mudah oleh para penulis tersebut karena “universalitasnya, perspektif sastra tanpa pijakan searah” dan “kurangnya komitmen sosial”.
Pendapat lain yang tidak terlalu skeptis adalah pendapat Paul Tickell yang mempertentangkan realisme dan fantasi. Menurutnya, dominasi realisme dalam dunia kesusastraan Indonesia saling berkaitan antara kiri dengan kanan, ataupun dengan ideologi modern. Modernisme didominasi oleh pandangan dunia yang dianggap rasional, logis, ilmiah, dan positivistik. Sastra tahun 70-an menegaskan cara memandang dan melukiskan dunia sebagaimana adanya, tidak terikat oleh mitos dan tradisi. Dengan semakin meningkatnya sebuah kekuasaan penuh, efektif, sentralisasi negara dimana-mana dan serba tahu, sastra Indonesia modern menjadi semakin tidak memiliki peran untuk hidup dan eksistensi manusia di dunia, dan perlahan-lahan mulai melihat diri sendiri sebagai korban. Akan tetapi, penggambarannya justru lebih banyak diungkapkan melalui simbol dan metafor daripada melalui konvensi realis. Surealisme memiliki kekuatan untuk bertanya dan kadang-kadang menggali konvensi penciptaan sastra, dan sering memunculkan ilham tentang kebenaran alam dunia.
            Marshall Clark telah mengembangkan pandangan Tickell. Menurutnya, fantasi bukan hanya pertahanan diri terhadap konvensi-konvensi sastra dan sosial. Hal ini juga merupakan jalan bagi hegemoni Orde baru yang menancapkan kekuasaannya dengan menyatakan identitas budaya dalam arti “kesatuan” sebagai akibat dari perbedaan. Fantasi digunakan secara konsisten dalam sastra Indonesia sepanjang Orde Baru untuk membuka kesadaran kolektif akan kekacauan yang tidak terlihat di luar sastra yang dominan dan sistem budaya. Hal ini memunculkan realitas tersembunyi pada masyarakat Indonesia: kerusuhan, pembunuhan, pembasmian dan kejahatan lainnya.
Sastra mempunyai kekuatan untuk mendokumentasikan ruang-ruang yang hilang dalam masyarakat ketika bentuk lain dari ekspresi politik dilarang untuk mencatat apa yang tak terucapkan. Sastra mempunyai kekuatan untuk menunjukkan mana yang tersembunyi dan mana yang disembunyikan ketika dogma penguasa menyembunyikan kebenaran dari masyarakat. Sastra mempunyai kekuatan untuk mengangkat yang lemah ketika yang kuat berada pada posisi menginjak-injak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar