facing side is my favorite position when photographed

Selasa, 21 Desember 2010

Siang Ini adalah Siang Terakhirku


      Ilalang membentuk sehelai untaian angin yang berputar mengelilingiku di hamparan alam ini. Memandang langit seolah hari esok tak akan pernah elok, ingin sekali rasanya terbang bak burung-burung yang merdeka tanpa ikatan disayapnya. Memerdekakan diri tampaknya bukan pilihan mudah buat seorang kerdil macam aku.
      Semalam aku melakukan perjalanan yang cukup melelahkan dalam hidupku. Perjalanan mencari sebuah benda yang aku sendiri tidak tahu. Dalam perjalananku itu aku melihat dua sosok menghantuiku. Mereka berkelebat ketika aku berpaling tetapi ketika aku awas akan kehadiran mereka, hanya tampak satu sosok. Aku berusaha menghindar tetapi tidak berani berlari karena menurutku itu perbuatan seorang pengecut.
      Aku hanya bisa bergerilya bak seorang tentara. Menyelinap, mengintai, merunduk, dan menyusun strategi adalah caraku bermain-main dengan mereka. Aku pun tak ingin kalah atau mengalah dengan dua sosok itu. Aku merasa mereka hanya oase.
      Hari pun mulai beranjak siang ketika dua sosok itu menghilang. Mungkin siang adalah juru selamat bagiku. Ia sangat membantuku membuat takut mereka. Siang tampak begitu cerah, tiba waktunya aku menyusuru semuanya. Aku berjalan tanpa alas menapaki bukit sambil sesekali bermain dengan bunga.
Bunga adalah keindahan mereka yang memoles aura surga di dunia. Aku ikat bunga itu lalu aku buat cincin agar keindahan itu tidak lepas dariku. Aku tahu betul bahwa bunga yang terlepas dari tangkainya akan cepat layu. Seperti halnya aku tahu betul bahwa laki-laki jika terlepas dari perempuan akan layu.
 Karena aku sadar akan hal itu aku pun jika bunga yang aku petik ini minimal tidak layu sampai aku meninggalkan tempat ini. Perlu beberapa bunga sampai bunga cincin itu dapat terikat di jari-jari. Aku percaya bahwa bunga memilih orang yang memetiknya.
      Hari ini seolah berjalan lambat, menurutku. Akan tetapi sang waktu berkata lain.
“Wahai manusia, aku telah menentukan masa bagi kalian dalam sehari yaitu dua puluh empat jam, jadi janganlah kau ingkar dengan bermimpi bahwa satu hari menjadi tiga puluh lima jam.”
      Harapan si kerdil ini memang tak jauh dari absurditas. Aku mencoba mengingat ketika dua sosok itu menghantuiku, sungguh bentuk absurd yang terasa sangat nyata saat salah satu dari mereka berkata,
      ”Aku adalah musuh terjahat dari diriku sendiri.”
      Lalu sosok yang lain ikut berkata, “Khususnya untuk si kerdil aku minta maaf telah menyusahkanmu.”
      Aku berusaha menemukan mereka seraya ingin menanyakan alasan mereka kenapa terus menghantuiku, apa maksud kalimat mereka.
      “Apakah itu sebuah pertanda bahwa mereka makhluk nyata? Apakah mereka ternyata memikirkanku seperti kebanggaan semua manusia yang punya hakikat berpasangan? Apakah mereka menganggapku ada seperti kenyataan ada gelap dan terang?”
      Akan tetapi layaknya angin muson yang melalui samudra dengan membawa hawa kering, dengan sombongnya berlalu tanpa memberi tanda mereka telah pergi.
      Aku mulai bertanya-tanya.
      “Kenapa makhluk seperti mereka lebih rasional ketimbang aku.”
      Mereka melihat sosok kerdil seperti aku dengan sangat manusiawi, tidak seperti aku melihat mereka. Aku melihat mereka sebagai benda yang bisa aku hiraukan ataupun aku kesampingkan. Aku sangat murka bahwa sosok nyata seperti aku ini ternyata mempunyai jiwa yang tidak lebih dari bunga tidur. Padahal sekarang aku dituntut untuk menemukan sebuah benda yang tidak kuketahui.
Awalnya aku berpikir hanya mencari secarik kertras yang sekiranya memiliki bukti. Aku pun belum yakinapakah yang aku cari cuma secarik kertas. Kemudian aku berpikir aku hanya mencari sepotong aksara yang sekiranya lebih memiliki arti. Aku pun masih belum yakin apakah yang aku cari cuma sepotong aksara.
Aku hanya tahu bahwa aku sudah menemukan benda itu, setidaknya dalam perjalananku. Tetapi kenapa pada siang ini keyakinanku goyah bahwa bukan benda itu yang aku punya. Siang ini, jawaban dari semua pertanyaan itu muncul ketika aku sudah lelah dengan diri sendiri. Sekian lama selama siang ini aku berperang dengan si kerdil ini dengan memperjuangkan kemerdekaan yang kami sendiri pun tidak tahu harus merdeka atau tidak. Aku tak tersadarkan jika siang tak semakin larut, senja tak semakin fajar.
Lama memikirkan hal ini pun membuatku larut dengan permainanku sendiri. Permainan itu mengantarkanku kepada ketidakpastian benda yang aku cari. Semakin tidak pasti semakin menunjukkan benda itu. Aku memang punya benda berwarna hijau, tapi kenapa benda yang tidak ingin aku cari juga berwarna hijau. Siang ini adalah siang terakhirku di tempat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar