facing side is my favorite position when photographed

Selasa, 21 Desember 2010

Di Sudut Relung Senja


Senja itu, kala burung-burung camar terbang mendekati matahari yang tenggelam dengan anggunnya, aku mencium seorang wanita yang tidak kalah anggunnya dengan matahari sore. Dia mempunyai mata yang indah dan tajam seperti mata pisau bersisi ganda yang mampu membunuhku pada pandangan pertama. Rambutnya lurus berwarna hitam nan panjang seperti lembayung dan angin yang seolah-olah bersatu membentuk angkasa. Hidungnya mancung nan mungil bagai miniatur menara Eiffel yang memancarkan keindahan nan romantis. Bibirnya bak buah strawberry yang memancarkan rona eksotis antara rasa manis dan asam yang berpadu dengan sempurna. Semua keindahan itu adalah karya terindah Sang Pelukis kehidupan hingga membentuk sketsa seindah itu. Aku berjanji tak akan pernah sedetik pun menutup mata berpaling darinya.
      Aku membelai rambut sambil menatap matanya dengan maksud ingin menyiratkan bahwa aku sangat mencintainya.
“Inka kamu serius dengan ciuman tadi?” tanyaku dengan agak pelan.
“Kamu kok jadi aneh gitu Wisnu? Apakah aku terlihat bercanda dengan yang kita lakukan barusan?” dia bertanya dengan sedikit sebal.
“Maaf Ka, aku hanya tidak percaya dengan.....” jawabku dengan gugup.
Aku tampak sangat gugup dan tidak tahu harus berkata apa  lagi karena sebelum ciuman itu kami hanya terdiam di pinggir pantai Muara Karang. Cukup lama kamitermenung meyakinkan diri akan perasaan masing-masing. Tiba- tiba kami saling menatap dan seakan mata kami berbicara hingga terjadilah momen indah itu.
“Inka, kamu siap menghadapi kemungkinan terburuk yang terjadi dengan kita?” tanyaku dengan sangat serius.
“Iya aku siap jika keluarga kita menetang hubungan kita,” jawabnya juga dengan sangat serius.
Aku dan Inka adalah anak dari seorang wanita bernama Sawitri. Ayahku bernama Raden Wibisena Wardoyo, sedangkan ayah Inka bernama Joseph Hutagalung. Ya. Kami adalah anak yang terlahir dari rahim wanita yang sama. Latar belakang keluarga kami sebenarnya sudah merupakan masalah yang besar menurut kebanyakan orang di negeri ini. Menurut hukum agamaku, seorang wanita muslim yang telah memiliki suami tidak boleh menikah lagi dengan laki-laki lain. Tetapi ibuku... ah... sebenarnya malas aku memikirkannya kembali.
Dulu, Bu Likku pernah bercerita sewaktu aku berumur lima belas tahun. Ia bilang bahwa ibuku sebenarnya tidak mati. Berbeda dengan yang sering dikatakan ayah, bahwa ibuku mati karena kecelakaan. Bu Lik bercerita bahwa dulu ayah menikahi ibu yang bekerja sebagai pembantu di rumah eyang. Ayahku nekat kawin lari dengan ibu dan rela melepas gelar radennya demi ibu.
Setelah lima tahun menikah ibu hamil lagi, namun benih yang di rahim ibu bukan benih yang dititipkan oleh ayah. Benih itu ditaruh dan dititipkan oleh teman lama ibuku. Kemudian mereka menikah tanpa sepengetahuan ayah. Bangkai yang tak pandai ditutupi ibu itu tercium juga oleh ayah. Ayah langsung menceraikan ibu tak lupa menceraikan aku dari ibu, padahal waktu itu umurku baru sembilan bulan. Ayah bilang ia tak mau aku malu punya ibu seperti dia, jadi lebih baik aku diceraikan darinya.
Aku sempat kesal dengan perbuatan ibu, tetapi setelah aku dewasa dan mengerti bagaimana kompleksnya hidup ibu ketika itu, aku pun memaafkannya. Ibu tahu aku dekat dengan Inka, tetapi dia tidak melarang kedekatan kami. Ayahku dan ayah Inkalah permasalahan kami sekarang. Belum lagi jika orang-orang sampai tahu bahwa aku dan Inka adalah saudara sekandung, permasalahan kami bisa tambah runyam.
Aku dan Inka kenal karena kami satu angkatan di kampus. Ketika kami berkenalan, seperti ada getaran-getaran aneh yang membuatku langsung jatuh cinta dengannya. Begitu halnya dengan Inka, ia mengaku bahwa ia langsung punya pikiran untuk menikah denganku ketika kami saling kenal.
“Wisnu, kita mau kemana?” tanyanya dengan manja.
“Aku mau ke masjid, setelah itu ke gereja.” Kataku sambil mengelus tangannya yang memelukku dari belakang.
“Jangan bilang kamu mau mengajakku nikah?” tanyanya dengan sangat tidak percaya.
“Ya. Kita menikah sekarang. Di waktu senja sudah tenggelam, di waktu itu juga aku tidak peduli dengan semua yang menghalangi cinta kita. Aku sudah muak dengan panasnya matahari yang terus membakar kemungkinan-kemungkinan yang tidak pasti.” Aku mencoba  meyakinkannya.
“Baiklah Wisnu, aku juga capek dengan ayahku yang keras kepala,” jawabnya dengan sangat yakin.
Motorku pun terus melaju dengan mantap menuju ujung dunia yang mau menerima kami apa adanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar