facing side is my favorite position when photographed

Jumat, 14 Januari 2011

MEMAHAMI PUISI MELALUI ALIRAN IMPRESIONISME

Puisi adalah karya seni yang puitis. Puitis dikonotasikan mengandung nilai yang khusus dan punya arti yang dalam. Dalam karya sastra, aspek puitis dapat disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan. Aspek puitis dalam puisi dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual seperti tipografi, susunan bait; dengan bunyi seperti persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan diksi seperti bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Dalam mencapai aspek kepuitisan itu, penyair mempergunakan banyak cara secara bersamaan untuk mendapatkan jaringan efek puitis sebanyak-banyaknya.
Salah satu sastrawan yang menggabungkan berbagai aspek puitis dalam puisinya adalah Sitor Situmorang. Sitor Situmorang merupakan salah seorang penyair angkatan 45 yang cukup banyak melahirkan karya sastra –terutama puisi– dengan ciri khasnya berupa pilihan kata yang banyak merefleksikan kesepian dirinya. Bentuk puisi Sitor banyak berkiblat kepada puisi lama seperti pantun, dan syair. Pengaruh sastra Eropa “The Tale of Two Continents” yang ditulis oleh Baudelaire juga turut mempengaruhi karya-karya Sitor, terutama dalam hal pemilihan struktur kebahasaan seperti lambang, kiasan, dan diksi. Hal itulah yang membuat banyak sastrawan menganggap sosok Sitor sebagai penyair liris pendebah kesepian, keterasingan dalam bentuk-bentuk simbolis.
            Memahami puisi-puisi Sitor Situmorang sebenarnya tidaklah terlalu rumit. Bahkan bisa dikatakan gampang, karena susunan kata dan frase Sitor segera meninggalkan gema di hati dan kepala. Dalam setiap karyanya, Sitor Situmorang tidak akan pernah lepas dari kedekatannya kepada bunyi alam atau nyanyian anak.
Namun, jangan lekas mengatakan Sitor Situmorang sebagai penyair kuno hanya karena ia selalu merasa terikat dengan penggunaan bentuk puisi lama, seperti pantun dan soneta. Sebenarnya Sitor pun telah banyak menulis puisi-puisi yang bersentuhan langsung dengan masa lampau dan tradisi masa kini.
Sitor Situmorang dalam kumpulan sajaknya “Biksu Tak Berjubah” merefleksikan dirinya ke dalam setiap puisinya. Corak impresi atau biasa disebut aliran impresionisme tampak jelas tertulis dalam tiap larik. Oleh karena itu, penulis memfokuskan pembahasan puisi-puisi Sitor Situmorang ke dalam telaah penyair dan kenyataan sejarah berdasarkan aliran impresionisme.
Aliran impresionisme adalah gaya penceritaan penyair yang menjadi ciri karakteristik sebuah karya sastra yang menggambarkan kesan pribadi penyair terhadap kenyataan hidup. Apa yang dikemukakan dalam sajak adalah kesan penyair setelah menghayati kenyataan hidup itu. Adapun obyek kenyataan hidup itu dapat berupa manusia, peristiwa, benda, dan sebagainya. Namun perlu diingat bahwa kenyataan itu bukan hanya digambarkan apa adanya, namun lebih dari itu harus menimbulkan kesan, atau bertujuan untuk mengemukakan kesan atau maksud pribadi penyair.
Penulis merasa perlu melakukan fokus analisis untuk menyederhanakan konsep pemikiran tentang Sitor dan karya-karyanya. Penulis memilih aliran impresonisme sebagai kedekatan atas karakterisitik setiap puisinya karena setelah penulis telaah kembali sajak-sajak dalam BTB, hampir keseluruhan sajak Sitor beraliran impresionisme. Penulis menghubungkan aliran impresionisme sebagai garis besar dari telaah enam puisi yang penulis bahas. Penulis tidak menutup pembahasan tentang tema, amanat, serta struktur fisik ataupun batin dalam analisis penulis.


Biksu Tak Berjubah: Impresionisme Sitor Situmorang

            Sajak-sajak Sitor Situmorang yang terkumpul dalam Biksu Tak Berjubah lebih ditujukan kepada sisi dokumentasi, ketimbang pilihan berdasarkan nilai sastranya. Terkumpul dalam Biksu Tak berjubah sajak-sajak Sitor yang tercecer dalam berbagai penerbitan dan yang belum pernah dipublikasikan atau tersimpan dalam dokumentasi pribadi Sitor, pengamat sastra Kees Snoek di Belanda maupun di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Sajak-sajak tersebut berasal dari masa paling awal kepenyairan Sitor di tahun 1948, sampai dengan sajak yang ditulisnya beberapa saat sebelum genap berusia 80 tahun pada 2 Oktober 2004.
            Ada lima bagian sajak dalam BTB yang menandakan periodesasi kepenyairan Sitor dan disusun secara kronologis. Bagian pertama, “Dari Satu Perjalanan”, berisi 12 sajak yang dihasilkan Sitor selama rentang waktu 1948 sampai dengan keberangkatannya ke Eropa atas tanggungan dari Sticusa (Sticting culture samen werking) pada tahun 1950. Bagian kedua yaitu “Siul Depan Jendela”. Bagian ini memuat sajak-sajak yang meliputi periode 1951-1961. Sajak-sajak dari periode ini sebelumnya telah dirangkum dalam tiga kumpulan, yakni Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1954), dan Wajah Tak Bernama (1955). Akan tetapi, ternyata masih banyak sajak-sajak dari periode ini yang lumput dari rangkuman tiga kumpulan tersebut.
Bagian ketiga yaitu “Hari Bebas”, berisi 25 sajak yang ia buat setelah ia bebas dari penjara. Periode pembuatan puisi dilakukan selama tiga tahun dari 1976-1979. Bagian keempat “Syair Karma di Musim Bunga” memuat sajak-sajak dari periode 1980, saat Sitor memutuskan untuk tinggal di Eropa, sampai dengan kembalinya ke Indonesia pada tahun 2000. Bagian ini memuat 14 sajak yang tercecer tidak masuk dalam kumpulan yang telah terbit untuk periode ini, seperti Angin Danau (1982), Bunga Di Atas Batu (1989), Rindu Kelana (1993), dan Paris la Nuit (2000). Bagian terakhir “Kutatap Wajah Waktu” meliputi periode 2000-2004. Ada 15 sajak di dalamnya. Sajak-sajak itu menandakan bahwa proses kreatif Sitor belum berhenti.
Puisi-puisi dalam Biksu Tak Berjubah, hampir keseluruhannya merupakan celoteh Sitor terhadap kritik keadaan yang menimpa diri dan lingkungannya. Sajak-sajak dari masa awal kepenyairan Sitor merupakan perspektif yang dalam beberapa suntingan lebih mengikuti pandangan sosok Sitor sebagai penyair liris pendebah kesepian, keterasingan dalam bentuk-bentuk simbolis. Penyair yang lebih banyak merisaukan nasibnya sendiri sebagai individu. Penyair yang tidak mewakili jiwa bangsanya dan tidak mewakili suasana umum zamannya. Penyair yang dalam sajaknya hanya seperti adanya, yakni seseorang yang terpisah oleh waktu dan ruang dari dunia sekelilingnya.
Penulis membuat telaah enam puisi diantaranya “Sajak Pohon Randu”, “Kereta Api Bima”, “Pesta dan Tari”, “Biksu Tak Berjubah”, “Istri”, dan “Nusantara”. Berikut telaah yang penulis lakukan berdasarkan aliran impresionisme Sitor Situmorang.


  1. Telaah puisi Sajak Pohon Randu


SAJAK POHON RANDU

Kuingin tulis sajak
penyerahan mutlak
kepada alamraya
                    
menyatu dengan hayat
tanpa kata
tanpa aksara

Betapa ingin
kutulis
sajak mutlak
pohon randu

menjulang
di depan mata
di hari senja
kemesraan hidup

di relung Borobudur hatiku.


Puisi di atas terdiri dari lima bait dan tiap bait terdiri atas tiga hingga empat larik. Puisi ini tergolong ke dalam puisi modern karena tidak terikat oleh pembagian bait, baris, dan persajakan. Puisi yang berjumlah 15 larik ini bentuknya hampir mirip Soneta karena dilihat dari susunannya yaitu dua bait pertama masing-masing terdiri atas tiga larik dan dua bait terakhir masing-masing terdiri dari empat larik. Begitu juga jika ditelaah dari segi isinya, puisi di atas sedikit bercorak romantisme sentimentil.

menyatu dengan hayat/ tanpa kata/ tanpa aksara.... menjulang/ di depan mata/ di hari senja/ kemesraan hidup


            Diksi tersebut seolah-olah menggambarkan harapan yang sangat dalam sehingga pembaca seperti merasakan kesedihan Aku lirik. Sifat sentimentil dan cengeng Aku lirik menyikapi hidup adalah formula cetak biru corak romantisme sentimentil pada umumnya. Pertimbangan rasio pada aliran ini sering dinomorduakan. “Menyatu dengan hayat” secara harfiah memiliki pengertian tindakan bersatu dengan nyawa. Sedangkan secara aspek puitis memiliki makna mempertemukan perasaan atau menyerahkan diri.
Dari dua sudut pandang pengertian tersebut, ‘bersatu dengan nyawa’ dan ‘mempertemukan perasaan’, pertimbangan rasio sengaja dikonotasikan penyair dengan pilihan kata yang hiperbolis dan simbolis. Meskipun begitu, puisi berjudul Sajak Pohon Randu bukan becorak romantisme sentimentil. Puisi ini, menurut kami, lebih bercorak impresionisme karena menggambarkan kesan-kesan dalam diri pribadi penyair. Apa yang dikemukakan dalam puisi tersebut adalah kesan penyair setelah menghayati kenyataan hidup itu. Kesan-kesan yang timbul dari kenyataan diolah dalam batin penyair, kemudian penyair membuat deskripsi tentang kesannya itu ke dalam puisi. Maksud utama puisinya adalah menjelaskan kesan yang terdapat dalam pikiran, perasaan, dan kesadaran penyair dan bukan mendeskripsikan secara terperinci kenyataan itu.
Sajak Pohon Randu bercerita tentang perasaan sepi dan kesendirian Aku lirik di dunia ini. Bait pertama menggambarkan betapa dalamnya kesedihan yang dirasakan Aku lirik.

Kuingin tulis sajak/ penyerahan mutlak/ kepada alamraya


Aku lirik sangat ingin menyerahkan diri kepada alam. “Penyerahan mutlak” disini memiliki makna pasrah dan berserah diri sepenuhnya kepada kebebasan. “Alamraya” dapat berarti kebebasan yang ingin dirasakan Aku lirik. “Kuingin tulis sajak penyerahan mutlak” adalah keinginan Aku lirik membenahi garis nasibnya sendiri. “Pohon randu” menjadi simbol naungan atau keteduhan Aku lirik di alam bebas. “Pohon Randu” juga dapat bermakna perasaan cinta Aku lirik yang ingin digapainya.
Pada bait keempat, penyair menggambarkan harapannya terhadap masa depannya. “Menjulang di depan mata” memiliki makna tampak jelas di hadapan Aku lirik. “Di hari senja kemesraan hidup” bermakna di saat umur Aku lirik yang sudah tua. Dan maksud dari “di relung Borobudur hatiku” adalah perasaan Aku lirik yang sepi.
Sitor Situmorang sepertinya membuat puisi ini sebagai wujud kesepian dirinya akan nasib yang menimpanya. Pada tahun 1976 ia dibebaskan dari penjara setelah delapan tahun menjalani hukuman di balik sel. Ia dipenjara karena dituduh telah melakukan pemberontakan lewat esainya yang berjudul “Sastra Revolusioner”. Sitor merasa kesepian karena semua orang sepertinya memilih diam. Hingga ia dikeluarkan dari penjara ia tidak pernah mengetahui kesalahannya. Sitor merasa bahwa ia hanya sendiri di dunia ini. Ia merasa bahwa bentuk perjuangannya melalui karya-karyanya tidak ada yang mengakui saat itu.



  1. Telaah puisi Kereta Api Bima


KERETA API BIMA

Kereta menuju timur
nembus malam
diburu mimpi
kebebasan jalan
di dataran luas negeri

Antara Merapi
dan gugusan Gunung Lawu
kucari tahu yang satu

Kepundan Merapi
menjulang di keluasan
sawang malam candi-candi

padat
segala hal
yang serba mungkin

dalam jadwal waktu
serba tunggal
dan kekal

Puisi di atas terdiri dari lima bait dan tujuh belas larik. Puisi diatas merupakan puisi modern karena strukturnya bebas dan tidak terikat. Puisi Kereta Api Bima bercerita tentang kesan Aku lirik saat berada di dalam kereta. Kesan tersebut ditangkap oleh pencitraan penglihatannya saat ia duduk sambil melihat ke luar jendela kereta.

Kereta menuju timur/ nembus malam/ diburu mimpi/ kebebasan jalan/ di dataran luas negeri

Saat itu Aku lirik sepertinya sedang bergegas menuju sebuah tempat yang terletak di Jawa Tengah atau Yogyakarta. Aku lirik berangkat menggunakan kereta ekspress yang berangkat malam hari. “Di buru mimpi” disini memiliki makna keretanya sangat cepat sampai-sampai orang-orang yang naik kereta itu tidak sempat bermimpi indah karena keretanya sudah sampai di tempat tujuan.

Kepundan Merapi/ menjulang di keluasan/ sawang malam candi-candi


Pada bait ini, seolah-olah pembaca dapat melihat keindahan siluet lereng gunung merapi di saat subuh. Pencitraan penglihatan ditonjolkan kepada pembaca agar kesan impresi yang dirasakan penyair dapat juga dirasakan pembaca.

Padat/ segala hal/ yang serba mungkin/ dalam jadwal waktu/ serba tunggal/ dan kekal


Bait ini menggambarkan betapa sempitnya waktu yang Aku lirik punya. Sitor sebagai sudut pandang pertama Aku lirik merasakan betapa indah dan luas dataran di negeri Indonesia. Jika ditilik dari sejarah Sitor pada tahun pembuatan puisi ini, puisi ini bisa juga diartikan keinginan Sitor merasakan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Tidak diatur dan bisa berkeliling kemanapun tanpa larangan adalah impresi yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca. Setelah Sitor keluar dari penjara, ia measih harus menjalani tahanan rumah selama dua bulan. Mungkin hal inilah yang melatarbelakangi Sitor membuat puisi ini.



  1. Telaah puisi Pesta dan Tari

PESTA DAN TARI

Pesta dan tari,
pesta dengan genderang dan tamtam,
malam ini aku tidur di gunung-gunung,
berselimut kemerdekaan
berbantalkan senjata musuh.

Puisi di atas hanya terdiri atas satu bait dan lima larik. Puisi ini termasuk puisi modern karena tidak terikat dengan konvensi puisi lama. Hal paling menarik dari puisi ini adalah pemadatan bahasanya. Tiap larik memiliki makna yang lebih luas dari kalimat biasa. Pengimajian (pencitraan) yang tersirat di dalamnya adalah imaji auditif (pendengaran), terwakili oleh larik ...pesta dengan genderang tamtam. Tema yang diangkat penyair adalah tema kebebasan. Hal ini dapat dilihat dari pilihan kata ...berselimut kemerdekaan/ berbantalkan senjata musuh.
Gaya bahasa yang muncul adalah gaya bahasa metafor, yang dapat kita temukan dalam dua larik terakhir ...berselimutkan kemerdekaan ..berbantalkan senjata musuh. Dua larik terkhir itu juga merupakan simbol atau lambang bagi kemenangan yang telah diraih. ‘Kemenangan’ yang dimaksud adalah kemenangan karena Sitor Situmorang baru bebas dari penjara. “Berbantalkan senjata musuh” mewakili perasaan bangga karena merasa telah mengalahkan musuh dengan kebebasannya dari penjara. Puisi ini mengungkapkan perayaan kemenangan atas kebebasan Aku lirik. Hal yang dirayakan dengan pesta, tari, dan genderang, serta tamtam. Perasaan atau suasana yang ada adalah kepuasan. Rasa puas dan suasana gembira mendominasi tiap larik puisi ini.
Aliran yang dipakai oleh penyair adalah aliran impresionisme. Kesan yang timbul oleh batin pengarang setelah ia memenangkan pertempuran melawan musuh adalah impresi Sitor Situmorang yang ingin ditujukannya dalam puisi ini. Impresi pertempuran melawan musuh adalah kesan pribadi Sitor saat ia dipenjara tahun 1967-1975. Pertempuran melawan musuh diibaratkan perjuangan Sitor yang tidak pernah berhenti meskipun ia dipenjara. Selama dipenjara, ia masih tetap berkarya. Ia tetap mengkritik kebobrokan pemerintahan Indonesia saat itu.


  1. Telaah puisi Biksu Tak Berjubah

BIKSU TAK BERJUBAH

Taklukan kota Paris
mimpiku dulu
angan-angan muda:
menggegerkan langit!
Tapi langit bisu saja.

Paris pun jadi tua
aku dewasa
pasrah seperti biksu tua
berkemas

masuk biara matiraga
tanpa jubah—
dituntun tangan
meraba-raba
di gerbang cinta
alam semesta
nusantara


Puisi ini terdiri atas tiga bait dan enam belas larik. Pemadatan bahasa yang digunakan sangat efektif. Dalam tiap larik mengandung makna yang lebih luas dari kalimat. Gaya bahasa yang muncul adalah gaya bahasa personifikasi dan simile. Gaya bahasa personifikasi muncul pada larik kelima bait pertama ... Tapi langit bisu saja/ Paris pun jadi tua.  Gaya bahasa simile muncul pada larik kedua dan ketiga bait kedua ...aku dewasa/ pasrah seperti biksu tua. Pengimajian (pencitraan) yang ada adalah imaji rasa, terlihat pada bait terakhir puisi ...dituntun tangan/ meraba-raba. Tema yang diangkat penyair adalah keterasingan.
Puisi ini bercerita tentang Aku lirik yang berhasil mewujudkan keinginannya tinggal di Paris. Akan tetapi, setelah ia tinggal di Paris, gelora yang dulu menyemangatinya hilang seiring dengan umurnya yang semakin tua. Puisi ini sebenarnya merefleksikan diri Sitor saat ia mengasingkan dirinya ke Eropa. Saat itu ia memutuskan untuk tinggal di Paris setelah kebebasannya dari penjara. Di satu sisi ia sedang muak dengan Indonesia, dan di sisi lain ia memang sangat ingin pergi ke Paris. Sedari kecil Sitor memang sudah berangan-angan ingin ke Paris. Akan tetapi, setelah angan-angannya terwujud, perasaan bahagia itu tidak ia rasakan betul. Berikut kutipan bait yang menyatakan hal tersebut:

Paris pun jadi tua/ aku dewasa/ pasrah seperti biksu tua/ berkemas

“Pasrah seperti biksu tua berkemas” memiliki makna Aku lirik, dalam hal ini adalah Sitor, terkesan terpaksa pergi ke Paris karena tuntutan yang harus dilaluinya. ‘Tuntutan’ disini adalah kondisi yang tidak memungkinkan untuk Sitor tinggal di Indonesia.
Sitor sebagai orang Indonesia agaknya tidak bisa melupakan kampung halamannya yaitu desa Harianboho di Sumatera Utara. Sepertinya ia merasakan kerinduan dan kekaguman yang mendalam kepada tanah airnya. Berikut kutipan bait terakhir yang menyatakan hal tersebut:

masuk biara matiraga/ tanpa jubah—/ dituntun tangan/ meraba-raba/ di gerbang cinta/ alam semesta/ nusantara





  1. Telaah puisi Istri


ISTRI

Cinta terbagi
Membunuh diri
Tangispun sepi

           
            Puisi ini jelas merupakan puisi modern karena hanya terdiri dari satu bait. Puisi ini bila dibacakan akan muncul sebuah nada yang menarik. Nada yang muncul adalah /i/, /i/, /i/. Nada dengan akhiran /i/ akan mensugesti pembaca untuk merasakan kedalaman maksud dari puisi ini. Maksud atau tema dari puisi di atas adalah kesepian. Berarti dalam nada /i/ tersebut, kita dapat hayati sikap penyair yang secara tersirat ingin menyampaikan perasaan kesepiannya yang mendalam. Mendalam karena cintanya terbagi pada dua istri. Ia lirik merasa bersalah lalu ia lirik pun memutuskan untuk menyimpan kesedihannya sendiri.
Puisi di atas adalah impresi Sitor ketika ia menikah lagi dengan seorang diplomat berkewarganegaraan Belanda bernama Barbara Brouwer. Sitor menikah dengannya saat menetap di Belanda dan mengajar sebagai dosen disana. Sitor sepertinya ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa ia masih sayang dengan almarhum istri pertamanya. Sitor merasa cintanya terbagi meskipun ia menikah dengan Barbara setelah istri pertamanya meninggal.



  1. Telaah puisi Nusantara

NUSANTARA

Rindu tanpa batas
pada isi terpendam
angin lintas
bisik bibir kelu
gunung api terbalut awan.

Kesuburan lengang

pagi penjadian bumi dan
sepihnya danau di atas dan danau
di bawah sana – ketika kau lahir
serta alam melepas syair
tanpa kata
di payudara Eva
Di sini
Di sebelah timur Firdaus.

           
            Puisi di atas adalah puisi modern yang terdiri dari tiga bait dan 14 larik. Puisi di atas menceritakan kerinduan yang tidak mengenal jarak dan waktu kepada tanah air. Penyair mengkonotasikan keindahan alam yang membuat ia terus merindukan tanah airnya dengan kalimat:

pagi penjadian bumi dan/ sepihnya danau di atas dan danau/ di bawah sana – ketika kau lahir/ serta alam melepas syair/ tanpa kata/ di payudara Eva/ Di sini/ Di sebelah timur Firdaus.

            Konotasi “di payudara Eva” bermakna gambaran keindahan sosok perempuan Indonesia yang sama indahnya dengan keindahan alam Nusantara. Sitor membuat puisi ini untuk mengesankan kepada pembaca bahwa ia sangat rindu pulang ke Indonesia. Ia ingin mengajak pembaca untuk ikut merasakan kerinduannya dengan membawa pembaca melihat keindahan alam Indonesia. Permainan kata dan simbolis kalimat dipakai Sitor untuk pengimajian penglihatan agar seolah-olah pembaca terbuai dengan keindahan yang ingin ditujukan dari puisinya.
                                                                                                     



KESIMPULAN


Menurut penulis, sebagai seorang sastrawan periode 1945-1963, Sitor telah berhasil memberikan roh kepada setiap puisinya. Ia menggunakan bahasa sehari-hari namun dengan pilihan kata yang mengemukakan pengalaman batin yang mendalam dan mengungkapkan intensitas arti. Puisinya adalah puisi bebas yang tidak terikat oleh pembagian bait, baris, dan persajakan. Gaya bahasa yang dipergunakan banyak menggunakan metafora dan simbolik. Gaya sajaknya prismatis, hubungan larik dan kalimat-kalimatnya bersifat implisit. Jika dilihat dari struktur isi atau struktur tematisnya, Sitor banyak mengekspresikan eksistensi dirinya, sebagai tanda adanya individualisme yang menonjol, dalam hal ini menyangkut pada hubungan aliran impresionisme pada setiap puisinya. Selain itu, Sitor juga melukiskan kehidupan batin manusia melalui peneropongan batinnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar