facing side is my favorite position when photographed

Jumat, 14 Januari 2011

Etika Jurnalisme: Penyeleseaian Masalah Jurnalistik di Indonesia


Tentang Etika
            Di tengah proses mencari jati diri pers Indonesia, sebagian wartawan Indonesia sepertinya saat ini tengah sibuk membicarakan persoalan etika, khususnya ketika kepentingan negara, kepentingan pemodal, kepentingan rakyat dan idealisme wartawan di lapangan kerap bertempur. Etika kerap menjadi sebuah hal yang dinaifkan. Etika hanya dianggap sebagai pajangan. Jangan kaget bila etika meliput pengadilan, sama sekali tak pernah dijalankan oleh para wartawan yang meliput pengadilan. Demikian pula dengan etika peliputan lainnya.
            Wartawan penuh dengan standar profesi , yang berusaha menghasilkan pelaporan yang akurat dengan cara yang etis, pasti memperoleh kepuasan profesioanal. Mereka juga memperoleh kepercayaan dari pembaca dan penonton mereka, dan reputasi atas keterandalan organisasi berita mereka. Suratkabar, stasiun TV, atau stasiun radio yang dapat dipercaya dan diandalkan mempunyai peluang sangat besar untuk sukses secara komersial. Jadi, selain dorongan moral untuk mempraktikan jurnalisme yang beretika, ada pedorong ekonomis juga. Akhirnya, pemerintah akan cenderung kurang menerapkan standar pada media jika wartawan sendiri berpegang pada standar etika yang tinggi.
Dalam banyak hal, standar etiak profesi sangat diperlukan sekarang. Munculnya organisasi-organisasi media yang semakin bertambah besar, daur berita yang sudah memadat dari hari menjadi jam atau menit, dan kesadaran baru atas hubungan yang vital antara sebuah pers yang bebas dan masyarakat yang bebas telah mendorong minat mengembangkan standar etika. Ini terutama berlaku di sejumlah negara di Amerika Latin, Afrika, Eropa Timur, dan Asia, negara-negara yang dalam banyak kasus baru berubah menjadi demokratis dan berhadapan dengan meningkatnya tuntutan akan ekonomi global.



Peranan “Kode” Etik
            Kode etik tetap menjadi topik utama dalam setiap diskusi tentang etika jurnalisme. Perbedaan mencolok antara undang-undang dan etika, kode dan peraturan, sukarela dan wajib cepat muncul dalam pikiran banyak orang, begitu juga pertanyaan tentang pelaksanaannya. Di banyak bagian dunia, sejarah tentang pemerintah otoriter telah meninggalkan warisan tradisi dan lembaga yang dimaksudkan untuk mengatur praktik jurnalisme. Dalam sejumlah kasus, kode etik diperlakukan seperti undang-undang, dan praktik jurnalisme dibatasi hanya bagi kaum professional yang mendapat sertifikat atau izin dari organisasi-organisasi jurnalisme yang tunduk pada negara.
            Meskipun jurnalis bisa menentang peraturan pemerintah dengan dalih peraturan itu membatasi kebebasan pers, mereka menyadari perlunya prinsip-prinsip jurnalisme di berbagai tingkat profesi mereka. Itu termasuk kode oleh organisasi jurnalisme professional, dewan-dewan yang disponsori oleh para professional dan pemilik media untuk menegakkan standar, dan sejumlah pertanyaan kebijakan spesifik tentang standar dan etika oleh masing-masing organisasi berita.

Nilai-Nilai Kemanusiaan Fundamental dan Etika Jurnalisme
Praktik etika pada umumnya, dan dalam jurnalisme pada khususnya, bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan. Landasan universal ini – yang menjembatani benua, ras, dan bahasa – mencegah pembahasan tentang etika hanya menjadi masalah pribadi yang terpisah-pisah. Pengambilan keputusan etis bukan saja merupakan penerapan atas nila-nilai universal ini untuk menjawab pertanyaan tentang salah satu atau benar: tapi juga tentang suara-suara menentang yang harus dihadapi jika dua jenis nilai atau lebih saling bertentangan, sehingga kita harus memutuskan mana yang harus dipilih.

Langkah-langkah untuk membuat keputusan etika
Berikut adalah uraian proses pembuatan keputusan etika:
  1. Konsultasikan dengan Rekan Sejawat dan Redaktur. Langkah pertama mulai bila seorang jurnalis menemui masalah. Seorang jurnalis mungkin mengenali masalah etika hanya karena perasaan terdalamnya, suara hatinya, hati nuraninya – atau apalah namanya – mengingatkan bahwa seorang jurnalis mungkin pernah membuat keputusan yang tidak enak.. Mungkin ini disebabkan oleh pelatihan jurnalistik atau pedoman dari redaktur membuat seorang jurnalis sensitif terhadap sinyal marah etika.
  2. Jelaskan Problem Etika. Nilai-nilai apa yang terlibat? Apakah ini menyangkut masalah benar vs salah, atau masalah yang lebih sulit yaitu benar vs benar. Seorang jurnalis kemudian dapat mengidentifikasi tujuan berkaitan dengan nilai itu. Apa strategi untuk mencapai tujuan yang berkaitan dengan nilai itu dan tindakan khusus apa yang harus seorang jurnalis ikuti agar konsisten dengan nilai-nilai dan tujuannya.
  3. Lihat Kode Etik dan Pedoman. Kode etik organisasi profesi bisa menjadi pedoman yang sanagt berharga, bahkan yang lebih berharga, adalah panduan etika dan standar dari organisasi berita itu sendiri. Kode etik tertulis demikian jarang bisa mengatasi dilema khas kevuali dalam kasus-kasus yang sangat jelas. Akan tetapi, kode itu menyediakan parameter nagi sebuah solusi dan sangat membantu dalam mengarahkan diskusi tentang masalah etika.
  4. Ukurlah Tujuan Jurnalistik. Seorang jurnalis harus menyadari sejauh mana tujuan jurnalistik mempengaruhi cara seorang jurnalis menulis atau mempengaruhinya untuk melanggar batas-batas etika. Ini terjadi manakala seorang jurnalis berkata tidak punya waktu untuk menghubungi sumber kedua untuk menginformasikan fakta karena sudah dekat sekali dengan tenggat waktu, atau ketika takut kehilangan “scoop” jika harus menunggu untuk mengecek berita dengan lebih cermat.
  5. Kenali “stakeholder”, Orang-orang yang Mungkin Terkena Dampak Keputusan Itu. Seringkali ada kecenderungan mempertimbangkan sudut pandang dari orang-orang yang ada di dalam ruangan saja ketika membahas maslah etika. Seorang jurnalis harus berusaha kuat menyusun daftar orang-orang yang akan terkena dampak dari keputusan itu, dan berusaha menggambarkan secara obyektif kepentingan setiap orang dalam keputusan itu.
  6. Tanyakan Apa Saja Alternatifnya? Setiap berita dapat ditulis dalam banyak cara yang berbeda. Seringkali pilihan etikanya bukan antara menerbitkan atau tidak menerbitkannya. Keputusan etika seorang jurnalis mungkin adalah menulis berita itu dalam cara tertentu untuk mencapai efek jurnalistik sekaligus mengatasi sebuah dilema etika. Dalam beberapa kasus, menulis berita tambahan untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan merupakan solusi.
  7. Ambil Keputusan. Etika bukanlah untuk didiskusikan, betapapun kaya dan menariknya diskusi itu. Diskusi yang bagus bukanlah sebuah keputusan. Dalam jurnalisme, sebagai seorang jurnalis, harus bertidak dan bertangungjawab atas keputusan yang dibuatnya. Hal yang tidak boleh dilakukan seorang jurnalis adalah menunda keputusan. Dalam beberapa kasus, keputusan itu berupa menunda penerbitan agar berita bisa lebih adil, atau agar efek merusaknya berkurang – misalnya, menyimpan jatidiri korban sebuah kecelakaan sampai keluarganya diberitahu, tapi harus segera diambil keputusan, dan harus melakukannya pada saat yang tepat untuk memenuhi tenggat waktu.
8.   Mampu Menjelaskan Keputusan. Langkah ini kadang disebut “uji halaman depan”. Seandainya semua alasan dalam membuat keputusan dengan cara tertentu dibeberkan di halaman muka koran, mungkinkah keputusan seorang jurnalis akan sama? Adakah motif yang akan membuat seorang jurnalis merasa kurang enak kalau dibeberkan? Ini tidak berarti bahwa seorang jurnalis harus membebani pembaca dengan penjelasan untuk setiap kasus. Akan tetapi, ini memang berarti bahwa seorang jurnalis harus bertanya pada diri sendiri apakah pembeberan ke publik akan menjadi sebuah faktor dalam pengambilan keputusannya.


Acuan Pustaka :

Prayitno, Budi., peny. Etika Jurnalisme: Debat Global. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi dan Kedutaan Besar Amerika Serikat, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar