facing side is my favorite position when photographed

Jumat, 14 Januari 2011

Dibalik Dua Karya Sastra Kontroversial: Langit makin Mendung dan Satanic Verses

            Di zaman ketika perkembangan teknologi canggih begitu cepat seperti sekarang ini, hampir tidak mungkin lagi kita berhubungan dengan benda budaya yang sepenuhnya asli. Jika di zaman lampau benda budaya bisa mencapai tempat lain dalam waktu yang lama, sekarang apa yang dihasilkan hari ini di London dapat dalam waktu yang sama diterima di Jakarta[1]. Sastra, sebagai salah satu benda budaya, terkena pula imbas dari perkembangan itu. Karya sastra yang ‘sama’ banyak ditemui di berbagai belahan dunia manapun. Ke’sama’an itu bisa berupa tema yang sama, pilihan kata yang sama, ide yang sama, gaya yang sama, dan sebagainya. Kemungkinan ke’sama’an itu terjadi karena banyak hal. Ada yang karena kebetulan sama, sebelumnya pernah mendengar atau melihat di suatu tempat, atau memang disengaja dengan suatu alasan tertentu.
            Ibnu Wahyudi, Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, membuat sebuah tulisan yang berisi tentang komentarnya terhadap dua karya sastra kontroversial berjudul “Langit Makin Mendung”, sebuah cerpen karya Ki Pandjikusmin, dan The Satanic Verse, sebuah buku karya Salman Rushdie. Dua karya sastra ini ‘sama-sama’ menghadirkan tokoh-tokoh yang sangat dijunjung dan dimuliakan umat muslim dengan citra yang mencederai pemahaman yang selama ini sudah terbangun. Ibnu Wahyudi melihat polemik ini sebagai masalah sastra bandingan yang tidak perlu terlalu dirisaukan karena menurutnya karya sastra ialah karya fiksi yang semata-mata hasil reka imajinasi belaka. Permasalahan pada cerita yang dirasa menyinggung harga diri kalangan tertentu dan pemakaian karakter dan nama tokoh yang sama dengan nama tokoh tertentu, hendaknya dilihat berdasarkan kacamata sastra sebagai ‘produk imajinasi’ yang tidak ada kaitannya dengan ‘kesengajaan’ atau bisa dibilang ‘kebetulan belaka’ dan ‘fiktif semata’.[2]
            Pada masa saat kedua karya sastra ini muncul, berbagai kontroversi tentang isi cerita dan keberadaan pengarangnya memang membuat banyak kalangan merasa harus bicara. H.B Jassin dalam artikelnya yang bertajuk “Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kebebasan Mencipta”[3] membela karya Ki Pandjikusmin dengan menulis, “maka apabila seorang pengarang atau seorang pelukis menggambarkan Tuhan dengan kata-kata, dengan lukisan ataupun dengan patung, dia tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi Ide Ketuhanan. Demikian pula orang lain, umat yang melihat, mereka tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi Ide Ketuhanan.”[4] Goenawan Muhammad pun ikut berkomentar dalam tulisannya yang berjudul “Tentang Kemungkinan-Kemungkinan Kesusasteraan.”[5] Ia menulis, “kesusasteraan adalah sesuatu yang berada dalam kehidupan, maka ia bukan saja menghidupkan kembali variasi-variasi itu, tapi juga menciptakan variasi-variasi yang baru, yang mungkin salah satu di antaranya tak terduga-duga. Dengan kata lain, kesusasteraan bisa memberontak. Kaidah ditinggalkan. Dalam memberontak ia bisa berbahaya dan menggelisahkan.”[6] Kedua tokoh sastra tersebut menanggapi polemik yang dianggap menghina umat Muslim ini dengan mencoba mengambil posisi sebagai seorang sastrawan yang mengerti betul kemana tujuan karya sastra itu dibuat. Mereka tidak gegabah mengambil sudut pandang yang tanpa pikir panjang menilai buruk sebuah karya sastra. Mereka dengan seksama membaca pesan dibalik karya Ki Pandjikusmin ini dengan intelektualitas mereka sebagai orang yang mengerti betul tentang sastra.
            “Langit Makin Mendung” dan The Satanic Verse, memang kelihatannya mengabaikan aturan tidak tertulis yang dibuat oleh orang-orang Muslim tentang peraturan yang tidak boleh menggunakan ataupun menggambar karakter Tuhan, Nabi, dan Malaikat—apalagi karakter mereka dipelesetkan. Meskipun begitu,  “Langit Makin Mendung” dan The Satanic Verse tentunya memiliki pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Pesan yang seharusnya bisa dimengerti dan dimaklumi oleh berbagai kalangan yang kontra terhadap dua karya sastra tersebut.
            Senada dengan yang disampaikan Ibnu Wahyudi, persoalannya ada pada keterbukaan, kedewasaan, dan kemampuan mencerna apa-apa yang dibaca. Sebab, tanpa bekal ataupun ketepatan dalam mengambil posisi yang pas, akan selalu ada efek yang barangkali merugikan dan menimbulkan kesalahpahaman.[7] Oleh karena itu, kita hendaknya melihat segi positif apapun jenis karya sastra. Dengan melihat segi positifnya, niscaya kita bisa mengambil hikmah tentang amanat yang ingin disampaikan pengarang di dalam karyanya. Bisa saja salah satu caranya dengan sindiran atau ironi yang tersirat. Dengan begitu, pembaca dibimbing menjadi pembaca yang intelek, tanpa harus selalu dibeberkan secara gamblang tentang maksud  pengarang lewat karyanya.


Daftar Pustaka

Dahlan, M. Muhidin dan Hermani, Mujib (ed.). 2004. Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung, Ki Pandjikusmin, Jakarta: Melibas.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.


[1] Sapardi Djoko Damono, Pegangan Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta, 2005), hlm. 18.
[2] Lihat Artikel berjudul ”Ambivalensi Fiksi vs. Resepsi Berbasis Imani”, diterbitkan Syir’ah, Tahun IV No. 31, Juni 2004.
[3] Artkiel ini diterbitkan Horison, Tahun II No. 11, November 1968.
[4] H.B Jassin, lihat Artikel “Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kebebasan Mencipta”.
[5] Artkiel ini diterbitkan Horison, Tahun III No. 10, Oktober 1968.
[6] Goenawan Muhammad, lihat Artikel “Tentang Kemungkinan-Kemungkinan Kesusasteraan”.
[7] Lihat Artikel berjudul ”Ambivalensi Fiksi vs. Resepsi Berbasis Imani”, diterbitkan Syir’ah, Tahun IV No. 31, Juni 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar