facing side is my favorite position when photographed

Kamis, 24 Februari 2011

Sastra Era Reformasi



Pada masa kepemimpinannya, Soeharto membatasi ruang gerak masyarakat dalam segala aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Kedudukannya terbilang kukuh karena sistem politik masa itu tidak membuka peluang terhadap perbedaan pendapat. Pembatasan ruang gerak di segala bidang aspek kehidupan sosial politik ini membuat rakyat tidak bisa menyuarakan isi hatinya dan aspirasinya dengan bebas. Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang pada masa itu harus berhati-hati dalam pergerakannya di tengah-tengah masyarakat. Apabila timbul gejala-gejala yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah Soeharto, organisasi yang bersangkutan akan dituduh sebagai komunis. Masa kepresidenan Soeharto disebut masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, Soeharto bermaksud untuk memberantas komunisme yang sebelumnya telah membuat situasi politik menjadi kacau sehingga pemerintah akan dengan tegas manindaklanjuti komunisme dan hal-hal yang berkaitan dengan komunisme.
Pada tahun 1997, Indonesia mengalami kesulitan ekonomi yang menyebabkan krisis moneter. Krisis dimulai dengan keadaan perekonomian yang memburuk pada tahun 1996. Nilai tukar rupiah yang jungkir balik menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa sejak tahun 1967. Masa krisis ini sering disebut dengan masa krisis multidimensi. Dikatakan krisis multidimensi karena pada saat itu terjadi kemerosotan hampir dalam semua aspek kehidupan yang bersumber dari krisis ekonomi dan politik. Hal ini mengakibatkan harga-harga kebutuhan masyarakat melonjak, seperti BBM, listrik, dan jasa transportasi. Masyarakat mendesak dan menuntut pemerintah untuk melaksanakan reformasi dalam bidang ekonomi dan politik. Desakan dan tuntutan masyarakat semakin meluap sehingga perlawanan masyarakat muncul di mana-mana, terutama di sejumlah kampus perguruan tinggi terkemuka. Para mahasiswa pun membentuk kesatuan aksi untuk turut menyuarakan tuntutan reformasi. Puncak aksi mahasiswa terjadi di kampus Universitas Trisakti Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998 yang menimbulkan empat korban jiwa. Peristiwa ini menyulut amarah rakyat yang menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di berbagai tempat.
Seiring terjadinya pergeseran kekuasan politik dari tangan ke tangan, muncul wacana mengenai sastra reformasi. Perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia tidak bisa terlepas dari rezimisasi kekuasaan politik. Pergantian presiden dan kabinet yang terbilang cepat, tempo tujuh tahun, tidak dapat memenuhi aspirasi dan harapan rakyat. Akan tetapi, kebebasan pers yang mulai diberlakukan sejak kepemimpinan Habibie membuat rakyat dapat menyuarakan aspirasinya dengan bebas. Begitu pula halnya dengan sastra Indonesia, para sastrawan Indonesia menyuarakan harapan mereka melalui penciptaan karya sastra yang mengaSngkat segala hal yang berbau semangat reformasi dan kebebasan.
Semangat reformasi tujuannya adalah membangun hari depan bangsa menjadi lebih baik di segala bidang melalui reformasi politik, hukum, pemerintahan, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Siapa pun boleh bertindak dan berbicara apa saja demi reformasi sehingga tampak berkembanglah kebebasan berpendapat dan demokrasi.
Berakhirnya masa Orde Baru telah menimbulkan semangat reformasi yang berlebihan sahingga disebut “kebablasan” atau euforia hampir di segala aspek kehidupan. Runtuhnya kekangan menyebabkan berkembangnya kebebasan di hampir semua bidang kehidupan, termasuk sastra Indonesia. Pada tahun pertama Era Reformasi bermunculan banyak penerbitan, tetapi hanya dalam beberapa tahun banyak yang tidak mampu bertahan. Terlepas dari kondisi penerbitan yang pasang surut, ternyata sastra Indonesia tidak pernah mati. Kemungkinan lain dapat dikaitkan dengan semangat pembebasan dari hegemoni politik dan kekuasaan pada masa akhir Orde Baru.
Banyaknya penerbitan sastra di kota-kota besar menghasilkan puluhan judul buku dengan tema dan persoalan yang beragam. Sambutan masyarakat pembaca terhadap maraknya penerbitan yang beragam mencerminkan semangat pembebasan publik dari kekangan politik dan kekuasaan selama masa Orde Baru. Spesialisasi pun bisa berlaku di kalangan pembaca. Komunitas sastra mengisyaratkan gairah dan dinamika kehidupan sastra Indonesia yang dipercaya sebagai salah satu sarana aktualisasi dan pembebasan publik dari kekangan kehidupan sosial dan politik. Sastra Indonesia tidak lagi terbatas di Jakarta dan kota-kota besar, tetapi tersebar ke seluruh pelosok Tanah Air. Pengamatan Redyanto Noor (2006) membuahkan cacatan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir telah terbit ratusan judul novel remaja dan telah membentuk komunitas tersendiri serta mencerminkan pembebasan mereka terhadap berbagai norma sosial dan budaya yang mapan.
Munculnya sastrawan Angkatan Reformasi ditandai dengan maraknya karya-karya sastra yang bertemakan keadaan sosial dan politik, khususnya seputar reformasi. Karya-karya para sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik pada akhir tahun 1990-an, hingga jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak menjadi latar belakang  dalam sejumlah prosa, puisi, esai, dan drama yang lahir pada masa periode itu. Setelah wacana mengenai Angkatan Reformasi tidak berhasil dikukuhkan karena tidak adanya juru bicara, Korrie Layun Rampan melemparkan wacana baru mengenai lahirnya Angkatan 2000. Korrie memasukan sekitar seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra ke dalam Angkatan 2000, seperti Ayu Utami, Ahmadun Yosi Herfanda, Seno Gumira Ajidarma, dan Dorothea Rosa Herliany.
Selain itu, banyak bermunculan sastrawan perempuan yang mengangkat kebebasan dalam unsur seksualitas di dalam karya-karyanya. Kelahiran sastrawati-sastrawati, yang akhirnya dikonotasikan dengan nama Sastra Wangi, ini dipelopori oleh Ayu Utami dengan novelnya Saman. Setelah itu, muncul Dewi Lestari, yang bernama pena Dee, dengan novel Supernova-nya, disusul Djenar Maesa Ayu yang membuat sensasi dengan memberikan sentuhan seks secara verbal dalam antologi cerpennya yang berjudul Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-main dengan Kelaminmu dan Nayla. Perempuan-perempuan ini tidak ragu membicarakan seks dalam karya-karyanya secara terbuka dengan caranya masing-masing. Seks pun menjadi daya jual karya sastra sehingga masalah tabu atau tidaknya membicarakan perempuan dan seks dalam sastra muncul dalam masyarakat.
Kemunculan sastra wangi diimbangi dengan hadirnya sejumlah penulis sastra populer yang lebih sering dikenal dengan nama chicklit. Karya-karya chicklit adalah cerpen-cerpen atau novel-novel yang kebanyakan mengangkat kisah  hubungan antara laki-laki dan perempuan, dengan menempatkan perempuan sebagai tokoh utamanya, misalnya Cintapuccino karya Icha Rachmawati. Berbeda dengan tulisan sastra lainnya, sastra populer ini menjual romantisme dan ditargetkan untuk perempuan sehingga gaya bahasa yang digunakan, pada umumnya, mudah dipahami dan lebih hiburan semata.
Teknologi yang  terus berkembang di tengah-tengah kehidupan manusia membawa hampir seluruh aspek kehidupan tidak bisa terlepas dari keberadaan dan pengaruh teknologi. Teknologi telah menyentuh semua bagian dari kehidupan manusia, termasuk dalam dunia sastra. Teknologi yang semakin berkembang telah mempengaruhi kemunculan media sastra yang baru. Masyarakat Indonesia yang telah menyatukan keberadaannya di tengah-tengah kehidupan global pun tidak dapat memungkiri hadirnya teknologi di dalam dunia sastra. Komunitas sastra Indonesia memasuki dunia maya. Banyak karya para sastrawan dan sastrawati Indonesia yang tidak sempat atau memang tidak diterbitkan ke dalam buku tampil di dalam situs-situs di internet, baik yang dikelola pemerintah, organisasi nonprofit maupun situs pribadi. Hal inilah yang disebut dengan Sastra Cyber. Sastra Cyber telah membukakan mata dunia terhadap eksistensi karya-karya dan sastrawan-sastrawan Indonesia.
Selain itu, kebebasan mengungkapkan suara yang tidak bisa dilakukan pada masa Orde Baru, benar-benar dimanfaatkan oleh sejumlah sastrawan Indonesia ketika situasi politik sampai pada titik di mana segala aspek yang berkaitan di dalamnya harus benar-benar dibenahi. Pada Era Reformasi, sastrawan menyampaikan harapanm kritikan, cemoohan, dan isi hati mereka mengenai semangat juang masyarakat dan kekecewaan terhadap situasi sosial politik. Kebebasan bersuara ini juga mambebaskan sastra Indonesia untuk terus berkembang dalam perjalanannya yang selalu berkaitan dengan berbagai polemik, perdebatan, isu, dan sensasi yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Penerbitan-penerbitan karya sastra pasca-Reformasi tidak hanya memproduksi sastra pada masa itu sebab penerbitan karya sastra berbeda dengan penerbitan pers. Sastra membahas permasalahan yang terjadi dan dapat dijadikan cerminan dari masa ke masa serta dapat dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan ini. Jadi, buku-buku yang terbit pasca-Reformasi tidak hanya berasal dari naskah pada masa itu saja. Iklim penerbitan yang bebas setelah Reformasi telah membuka kemungkinan beragamnya penerbitan yang pada tahun sebelumnya sulit dibayangkan terjadi. Contohnya adalah terbitnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang sulit dibayangkan dapat terbit pada tahun-tahun sebelum Reformasi. Oleh karena itu, jika diperkirakan pengkajian sastra Indonesia masa depan akan semakin rumit, bukan hanya karena maraknya penerbitan melainkan karena beragamnya aspirasi dan aliran setelah Reformasi.

Senin, 07 Februari 2011



Citra Manusia dan Cinta Yang Dilanda Asmara: Telaah Buku Kumpulan Puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran Karya Asep Sambodja


PENDAHULUAN

Puisi adalah karya seni yang puitis. Puitis dikonotasikan mengandung nilai yang khusus dan punya arti yang dalam. Dalam karya sastra, aspek puitis dapat disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan. Dalam menghadapi sebuah puisi, bukan hanya pada unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata indah. Akan tetapi, merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang meliputi ungkapan pikiran dan perasaan penyair serta bahasa yang digunakan. Penyair mempunyai maksud tertentu dibalik baris-baris dan bait-bait yang disusun sedemikian rupa. Begitu juga dengan maksud digunakannya kata-kata, lambang, kiasan, dan sebagainya (Pradopo, 1990: 13).
Usaha memahami puisi tidak dapat terikat pada salah satu pendekatan saja karena setiap puisi memiliki karakter tersendiri, baik karakter yang ditentukan oleh penyairnya, temanya, nadanya, maupun karakter yang diwarnai oleh kenyataan sejarah pada saat puisi itu diciptakan. Karakter puisi juga tidak lepas dari citra manusia. Citra manusia dan puisi adalah dua hal yang saling berkaitan. Citra manusia, dalam hal ini, memiliki pengertian kesan, bayangan, atau gambaran manusia. Sebagai suatu produk budaya, puisi tentu tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan kemanusiaan. Analoginya, sebuah karya sastra, seperti puisi, selalu menghadirkan kehidupan manusia, karena pada dasarnya tiap karya sastra itu berisi obsesi sastrawan tentang kehidupan dan dalam kehidupan selalu hadir manusia (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994: 13 - 14).
Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, diubah dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo, 1990: 7). Wujud pengalaman manusia yang paling berkesan adalah hubungan antarpersonal. Hubungan antarpersonal memperlihatkan jalinan perasaan satu sama lain. Jalinan perasaan itulah yang kita kenal dengan sebutan cinta. Cinta senantiasa membuat manusia menjadi puitis. Oleh karena itu, puisi merefleksikan cinta, dan berarti pula menampilan citra manusia tertentu. Citra manusia itulah yang coba diungkapkan dalam telaah puisi bertemakan cinta.
Dalam telaah buku kumpulan puisi yang berjudul Kusampirkan Cintaku di Jemuran karya Asep Sambodja, Sang penyair merefleksikan tema cinta secara universal dalam setiap puisinya. Cinta kepada Tuhan, cinta kepada keluarga, cinta kepada kekasih, cinta kepada sahabat, dan cinta kepada bangsa dan negara adalah tema dalam puisi-puisinya. Sebagai penulis, saya memfokuskan telaah buku kumpulan puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran berdasarkan hubungan antara cinta dan citra manusia yang dilanda asmara saja. Fokus tema tersebut saya pilih karena bagi saya tema cinta adalah tema yang universal untuk dibahas. Setiap manusia pernah jatuh cinta, dan cinta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pencitraan manusia. Jatuh cinta selalu membuat orang dapat mengekspresikan perasaannya dengan lebih jujur. Sehingga, citra manusia yang menjadi topik bahasan dalam telaah ini dapat dengan mudah dianalisa.







Cinta dan Citra Manusia dalam Puisi “Kukirimkan Rinduku Lewat Gerimis”

Salah satu puisi yang bertema cinta yang dilanda asmara dalam buku kumpulan puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran ialah puisi “Kukirimkan Rinduku Lewat Gerimis”. Puisi “Kukirimkan Rinduku Lewat Gerimis” bercerita tentang seorang laki-laki yang rindu dengan kekasihnya. Si laki-laki, aku lirik, menggunakan ungkapan ‘gerimis’ sebagai media dalam mengirimkan rindunya. ‘Gerimis’ dalam hal ini bisa berarti cinta karena pilihan kata ‘gerimis’ menyiratkan tentang keadaan pilu.

kukirimkan rinduku lewat gerimis
yang menyirami pohon kelapa
di depan rumahmu –

Cinta tidak harus selalu merasa bahagia. Kadang-kadang cinta juga bisa membuat manusia sedih. Sedih karena perasaan aku lirik kacau balau, kemungkinan karena sebuah konflik yang belum terselesaikan. Keadaan pilu yang dirasakan oleh aku lirik, diperkuat dengan larik yang menyatakan ‘kalah dan menang’. ‘Kalah dan menang’ berarti memang terjadi konflik antara aku lirik dengan kekasihnya.

sesungguhnya siapa yang menang?
mestikah aku senang, jika kau datang
merindu?            
mestikah kau senang, jika kuterduduk
merindu?

Aku lirik adalah sosok seorang manusia yang besar hati karena mencintai seseorang butuh kedewasaan dan rasa pengertian. Aku lirik menggambarkan citra manusia yang menghargai cinta berdasarkan rasa pengertian. Citra manusia yang mencintai pasangannya dengan tulus, yang rela berbesar hati demi tercipta langgengnya hubungan.

tak perlulah kita timpang
biarlah kau dan aku yang menang
biarlah kau dan aku meradang
biarlah cinta memenjarakan kita
kerna baru kutahu,     
jika cinta memenjarakan kita,
kok rasanya bagaimana, gitu.



Cinta dan Citra Manusia dalam Puisi “Cinta Itu”


Puisi kedua dalam buku kumpulan puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran adalah puisi berjudul “Cinta Itu”. Puisi ini bercerita tentang seorang laki-laki yang sangat mencintai seorang perempuan. Akan tetapi, cinta laki-laki ini, tokoh aku lirik, tertahan oleh ketidakmungkinan kondisi yang terjadi antara aku lirik dengan perempuan yang ia cintai. Ketidakmungkinan kondisi itu karena mereka berdua telah mempunyai kekasih. Cinta yang begitu besar, namun tidak bisa dipaksakan karena masing-masing ‘terkepung labirin’. Meskipun begitu, mereka berdua menikmati kenyataan itu.

langkahku tertunda padamu
aku terkepung bisu
angin dan angin senantiasa
yang mendekap
begitu dekat jarak      
antara kau dan aku
tapi selalu saja lepas
setiap pandang
kita sama terkepung labirin
indah, memang indah, biarpun semu
bukankah kita nikmati keindahan itu
tanpa kata –
meski semu?

            Hubungan antara aku lirik dengan perempuan yang ia cintai, tokoh kamu lirik, masih hanya sebatas teman karena dalam larik berikutnya terdapat kata ‘kesetiaan’. Hal ini mengartikan bahwa mereka berdua tidak selingkuh. Mereka masih setia dengan pasangan masing-masing.

kesetiaanku dan kesetiaanmu
sama-sama dipertaruhkan
dalam hidup yang gombal ini
meski begitu:  
cintaku selangit padamu

            Aku lirik sepertinya tidak berniat memperjuangkan rasa cintanya terhadap kamu lirik karena larik puisinya berhenti pada kalimat ‘cintaku selangit padamu’. Aku lirik lebih memilih memendam rasa cintanya di dalam hati. Citra manusia yang digambarkan aku lirik adalah manusia yang mengedepankan perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri. Aku lirik memikirkan perasaan kekasihnya sehingga ia tidak mengedepankan egonya untuk meninggalkan kekasihnya demi kamu lirik. Meskipun begitu, perasaan cinta aku lirik kepada kamu lirik begitu besar.


Cinta dan Citra Manusia dalam puisi “Seorang Laki-laki pada Seorang Perempuan dengan Kata-kata yang Mendayu-dayu”

            Puisi ketiga berjudul “Rayuan Seorang Laki-laki pada Seorang Perempuan dengan Kata-kata yang Mendayu-dayu”. Puisi ini berisi kata-kata rayuan untuk memikat hati seorang gadis. Rayuan ini diucapkan oleh aku lirik kepada seorang gadis dengan maksud ingin melamarnya. Dalam lariknya, puisi ini menjelaskan karakter aku lirik yang idealis. Aku lirik menggambarkan dirinya sebagai seorang manusia yang apa adanya. Ia tidak terlalu mementingkan kekayaan, pangkat, apalagi istri yang banyak. Ia cuma ingin mencintai gadisnya dan bisa menjalani kehidupan bersama dengan gadisnya.

oh, kasih
apalah aku ini
yang tak punya apa-apa
apalah kerjaku ini –
bagiku,
kerja bukanlah untuk mencari kebahagiaan
kerja adalah kebahagiaan itu sendiri
maka aku tak tergiur uang
tak tergiur jabatan
maka apakah aku ini
yang tak mau mengagungkan uang
tak mengagungkan perempuan
karena, bagiku,
cukuplah satu istri
yang kukasih
dan kumau kau
yang kukasih
sampai-sampai
padaNya

            Sosok aku lirik menggambarkan citra manusia yang idealis dan tidak ambisius. Ia mencintai pekerjaannya, kehidupannya, dan gadis yang dicintainya dengan tulus. Ia tidak berharap sesuatu yang lebih. Ia adalah sosok manusia yang jarang sekali ditemui. Kebanyakan manusia gila jabatan, harta, dan wanita. Akan tetapi, pencitraan manusia yang digambarkan aku lirik berbeda. Aku lirik adalah citra manusia yang cinta idealisme.



Cinta dan Citra Puisi dalam Puisi “Kusampirkan Cintaku di Jemuran”

            Puisi keempat berjudul “Kusampirkan Cintaku di Jemuran”. Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang putus asa. Putus asa untuk mencintai dan dicintai. Manusia ini, tokoh aku lirik, merasa tidak berguna dalam menjalin percintaan karena hubungan cintanya selalu kandas.

            kusampirkan cintaku di jemuran
karena luka dan airmata
dan bila ada angin
kubiarkan terbang entah ke mana
karena cintaku usang dan berlubang

            Aku lirik sepertinya mencintai seseorang, kamu lirik. Akan tetapi, cintanya tidak terbalas. Ia hanya bisa mencintai dari jauh. Ia merasa seperti seorang pecundang karena terdapat larik yang menyatakan ‘bila ada mentari/ makin jelas koyak cintaku/’. Hal ini menunjukkan aku lirik benar-benar merasa jatuh. Dari larik-larik yang terdapat dalam puisi, ia tidak menunjukkan semangat atau harapan.

            bila ada mentari
makin jelas koyak cintaku
dan kubiarkan begitu
bila hujan tak pergi
berarti damai dan air mataku basah

bila kau kedinginan di malam gelap
kubiarkan cintaku kaudekap
hanya kehangatan yang kuberi
karena cintaku robek dan tak mengkilat

            Dari puisi di atas, citra manusia yang digambarkan aku lirik ialah manusia yang putus asa terhadap cinta. Manusia yang gagal menjalani hubungan percintaan. Manusia yang menyerah dan tidak mau berusaha mengubah nasib cintanya. Citra manusia yang memilih untuk tidak mencintai ketimbang mencintai tetapi sakit hati.
           

Penutup
            Cinta yang terkandung dalam setiap puisi di dalam buku Kumpulan Puisi “Kusampirkan Cintaku di Jemuran” karya Asep Sambodja memiliki keterkaitan dengan perasaan seorang manusia. Seorang manusia yang mengungkapkan cinta secara tidak langsung manusia tersebut mengekspresikan aspek puitis dalam dirinya. Puisi sebagai unsur puitis sastra, mengekspresikan maksud yang sama dengan seseorang yang tengah dilanda cinta. Keharuan, kegembiraan, dan kebencian adalah hal yang dirasakan oleh seseorang yang tengah dilanda cinta. Puisi cinta yang berasal dari buku kumpulan puisi ini memiliki keterkaitan dengan hal itu. Dengan demikian, aspek puitis cinta dan citra manusia merupakan satu corak puisi yang sama.
KARIKATUR 15 MENIT: POTRET SOSIAL TERHADAP INSAN YANG HAUS POPULARITAS


KARIKATUR 15 MENIT

Karikatur 15 menit membawaku berpose, seperti raja-raja telanjang dalam baskom. Lalu gadis-gadis 15 menit berlengketan dalam kaleng-kaleng minum. Aku bunting dalam percintaan ini, seperti kuda beranak dalam lemari es. Lalu aku potret diriku jadi karikatur 15 menit. Studio foto meledak, studio foto meledak, wanita-wanita cantik lahir setiap 15 menit. Tak ada lagi kecantikan untuk dipotret, karena setiap menit layar diganti. Tak ada lagi peristiwa untuk dipotret, karena setiap menit orang jadi karikatur. Karikatur 15 menit mengubah diriku jadi menu makanan, merek sabun mandi. Lalu dunia datang padaku seperti kerbau goyang. Sebelum berangkat menguap jadi gas atau busa sabun: 15 menit aku merdeka sampai mati.


Puisi Afizal Malna berjudul “Karikatur 15 Menit” adalah puisi yang jika dilihat dari struktur merupakan sebuah puisi modern karena baitnya tidak terstruktur seperti bait pada puisi, melainkan seperti prosa. Puisi di atas adalah puisi yang jika diibaratkan lukisan adalah lukisan abstrak. Tiap lariknya terstruktur tetapi tidak terstruktur. Terstrukur karena antara larik yang satu dengan larik berikutnya terdapat jembatan struktur yang lazimnya ada pada puisi. Jembatan struktur itu adalah benang merah peristiwa yang ingin digambarkan pada puisi ini. Tidak terstruktur karena gambaran peristiwa itu tidak serta-merta langsung menjelaskan simbol-simbol lariknya. Gambaran peristiwa itu seolah-olah bias karena permainan kata penyair. Meskipun begitu, maksud puisi ini dapat dijelaskan dengan melepaskan bagian dari larik-lariknya.
Puisi di atas, setelah kita baca berulang kali, menggambarkan peristiwa yang terjadi pada keseharian kita, yaitu tentang makin banyaknya orang-orang yang ingin tenar dengan cepat dan praktis. Puisi “Karikatur 15 Menit” adalah kritik sosial terhadap indusrti hiburan yang makin lama makin membuat kesegaraman budaya ke arah modernisasi tidak terbatas dan terlalu bebas.Bila kita kaji berdasarkan makna lariknya, “karikatur 15 menit” adalah ungkapan yang berarti tokoh rekaan yang lucu yang dibuat selama 15 menit atau bertahan selama 15 menit. “15 menit” juga berarti waktu yang singkat, sehingga dari judulnya saja, kita dapat menebak akan ke arah mana puisi ini bermaksud.
Pada larik-larik awal tertulis, “lalu gadis-gadis 15 menit berlengketan dalam kaleng-kaleng minum” adalah ungkapan yang berarti perempuan-perempuan Indonesia sudah sebegitu terjebaknya dalam popularitas semu yang cepat hilang seperti meminum air soda dari sebuah kaleng. “Aku bunting dalam percintaan ini, seperti kuda beranak dalam lemari es” adalah ungkapan yang menyatakan bahwa setiap orang, yang digambarkan melalui aku lirik, yang ingin masuk ke dalam industri hiburan terlalu terbuai dengan iming-iming kesuksesan sehingga mereka rela melakukan segala cara agar dapat masuk dan lama bertahan dalam industri itu.
Pada larik berikutnya, “lalu aku potret diriku jadi karikatur 15 menit. Studio foto meledak, studio foto meledak, wanita-wanita cantik lahir setiap 15 menit. Tak ada lagi kecantikan untuk dipotret, karena setiap 15 menit layar diganti.” Ungkapan tersebut menyatakan bahwa persaingan public figure dalam industri hiburan sebegitu sengit sehingga ukuran kecantikan bisa saja tidak lagi menjadi tolak ukur untuk bisa masuk ke industri ini. Larik berikutnya, “karikatur 15 menit mrngubah diriku jadi menu makanan, merek sabun mandi.” Ungkapan ini juga menyatakan bahwa menjadi public figure tidak selalu menyenangkan karena hak pribadi terenggut oleh publik. Semua yang terdapat dan terjadi pada diri public figure menjadi barang dagangan dan tontonan publik.
Larik berikutnya, “lalu dunia datang padaku seperti kerbau goyang” menyatakan bahwa kehidupan bagi public figure tidak lagi tenang dan menyenangkan. “Sebelum berangkat menguap jadi gas atau busa sabun: 15 menit aku merdeka sampai mati” adalah ungkapan yang menjelaskan bahwa menjadi public figure dengan cara yang praktis nantinya juga dapat hilang lagi dengan cepat.

Kematian 1


Kematian adalah jejak kehidupan baru yang tertunda. Tertunda. Terjerat. Terserah. Selama kehidupan belum murka maka kematian tak akan muncul. Mati atau hidup? Hidup atau mati? Mati atau mati? Hidup atau terserah?

Manusia memang takut dengan kematian. Bukankah begitu Nafas? Nafas adalah seorang penakut yang sangat mencintai Dosa. Nafas tidak suka dengan Ajal. Menurut Nafas, Ajal adalah bagian kehidupan yang tidak seharusnya ada. Tidak sejati. Tidak pantas untuk Dosa. Karena Nafas yakin bahwa Dosa adalah dewi keindahan yang memancarkan rona resah, harap, takluk, dan sempurna. Berbeda dari betina-betina manapun di kehidupan kertas ini.

Perkenalkan namaku Matahari. Aku melihat, mendengar, merasa, membisu, memberi, dan selalu menolak.