facing side is my favorite position when photographed

Kamis, 24 Februari 2011

Sastra Era Reformasi



Pada masa kepemimpinannya, Soeharto membatasi ruang gerak masyarakat dalam segala aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Kedudukannya terbilang kukuh karena sistem politik masa itu tidak membuka peluang terhadap perbedaan pendapat. Pembatasan ruang gerak di segala bidang aspek kehidupan sosial politik ini membuat rakyat tidak bisa menyuarakan isi hatinya dan aspirasinya dengan bebas. Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang pada masa itu harus berhati-hati dalam pergerakannya di tengah-tengah masyarakat. Apabila timbul gejala-gejala yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah Soeharto, organisasi yang bersangkutan akan dituduh sebagai komunis. Masa kepresidenan Soeharto disebut masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, Soeharto bermaksud untuk memberantas komunisme yang sebelumnya telah membuat situasi politik menjadi kacau sehingga pemerintah akan dengan tegas manindaklanjuti komunisme dan hal-hal yang berkaitan dengan komunisme.
Pada tahun 1997, Indonesia mengalami kesulitan ekonomi yang menyebabkan krisis moneter. Krisis dimulai dengan keadaan perekonomian yang memburuk pada tahun 1996. Nilai tukar rupiah yang jungkir balik menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa sejak tahun 1967. Masa krisis ini sering disebut dengan masa krisis multidimensi. Dikatakan krisis multidimensi karena pada saat itu terjadi kemerosotan hampir dalam semua aspek kehidupan yang bersumber dari krisis ekonomi dan politik. Hal ini mengakibatkan harga-harga kebutuhan masyarakat melonjak, seperti BBM, listrik, dan jasa transportasi. Masyarakat mendesak dan menuntut pemerintah untuk melaksanakan reformasi dalam bidang ekonomi dan politik. Desakan dan tuntutan masyarakat semakin meluap sehingga perlawanan masyarakat muncul di mana-mana, terutama di sejumlah kampus perguruan tinggi terkemuka. Para mahasiswa pun membentuk kesatuan aksi untuk turut menyuarakan tuntutan reformasi. Puncak aksi mahasiswa terjadi di kampus Universitas Trisakti Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998 yang menimbulkan empat korban jiwa. Peristiwa ini menyulut amarah rakyat yang menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di berbagai tempat.
Seiring terjadinya pergeseran kekuasan politik dari tangan ke tangan, muncul wacana mengenai sastra reformasi. Perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia tidak bisa terlepas dari rezimisasi kekuasaan politik. Pergantian presiden dan kabinet yang terbilang cepat, tempo tujuh tahun, tidak dapat memenuhi aspirasi dan harapan rakyat. Akan tetapi, kebebasan pers yang mulai diberlakukan sejak kepemimpinan Habibie membuat rakyat dapat menyuarakan aspirasinya dengan bebas. Begitu pula halnya dengan sastra Indonesia, para sastrawan Indonesia menyuarakan harapan mereka melalui penciptaan karya sastra yang mengaSngkat segala hal yang berbau semangat reformasi dan kebebasan.
Semangat reformasi tujuannya adalah membangun hari depan bangsa menjadi lebih baik di segala bidang melalui reformasi politik, hukum, pemerintahan, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Siapa pun boleh bertindak dan berbicara apa saja demi reformasi sehingga tampak berkembanglah kebebasan berpendapat dan demokrasi.
Berakhirnya masa Orde Baru telah menimbulkan semangat reformasi yang berlebihan sahingga disebut “kebablasan” atau euforia hampir di segala aspek kehidupan. Runtuhnya kekangan menyebabkan berkembangnya kebebasan di hampir semua bidang kehidupan, termasuk sastra Indonesia. Pada tahun pertama Era Reformasi bermunculan banyak penerbitan, tetapi hanya dalam beberapa tahun banyak yang tidak mampu bertahan. Terlepas dari kondisi penerbitan yang pasang surut, ternyata sastra Indonesia tidak pernah mati. Kemungkinan lain dapat dikaitkan dengan semangat pembebasan dari hegemoni politik dan kekuasaan pada masa akhir Orde Baru.
Banyaknya penerbitan sastra di kota-kota besar menghasilkan puluhan judul buku dengan tema dan persoalan yang beragam. Sambutan masyarakat pembaca terhadap maraknya penerbitan yang beragam mencerminkan semangat pembebasan publik dari kekangan politik dan kekuasaan selama masa Orde Baru. Spesialisasi pun bisa berlaku di kalangan pembaca. Komunitas sastra mengisyaratkan gairah dan dinamika kehidupan sastra Indonesia yang dipercaya sebagai salah satu sarana aktualisasi dan pembebasan publik dari kekangan kehidupan sosial dan politik. Sastra Indonesia tidak lagi terbatas di Jakarta dan kota-kota besar, tetapi tersebar ke seluruh pelosok Tanah Air. Pengamatan Redyanto Noor (2006) membuahkan cacatan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir telah terbit ratusan judul novel remaja dan telah membentuk komunitas tersendiri serta mencerminkan pembebasan mereka terhadap berbagai norma sosial dan budaya yang mapan.
Munculnya sastrawan Angkatan Reformasi ditandai dengan maraknya karya-karya sastra yang bertemakan keadaan sosial dan politik, khususnya seputar reformasi. Karya-karya para sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik pada akhir tahun 1990-an, hingga jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak menjadi latar belakang  dalam sejumlah prosa, puisi, esai, dan drama yang lahir pada masa periode itu. Setelah wacana mengenai Angkatan Reformasi tidak berhasil dikukuhkan karena tidak adanya juru bicara, Korrie Layun Rampan melemparkan wacana baru mengenai lahirnya Angkatan 2000. Korrie memasukan sekitar seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra ke dalam Angkatan 2000, seperti Ayu Utami, Ahmadun Yosi Herfanda, Seno Gumira Ajidarma, dan Dorothea Rosa Herliany.
Selain itu, banyak bermunculan sastrawan perempuan yang mengangkat kebebasan dalam unsur seksualitas di dalam karya-karyanya. Kelahiran sastrawati-sastrawati, yang akhirnya dikonotasikan dengan nama Sastra Wangi, ini dipelopori oleh Ayu Utami dengan novelnya Saman. Setelah itu, muncul Dewi Lestari, yang bernama pena Dee, dengan novel Supernova-nya, disusul Djenar Maesa Ayu yang membuat sensasi dengan memberikan sentuhan seks secara verbal dalam antologi cerpennya yang berjudul Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-main dengan Kelaminmu dan Nayla. Perempuan-perempuan ini tidak ragu membicarakan seks dalam karya-karyanya secara terbuka dengan caranya masing-masing. Seks pun menjadi daya jual karya sastra sehingga masalah tabu atau tidaknya membicarakan perempuan dan seks dalam sastra muncul dalam masyarakat.
Kemunculan sastra wangi diimbangi dengan hadirnya sejumlah penulis sastra populer yang lebih sering dikenal dengan nama chicklit. Karya-karya chicklit adalah cerpen-cerpen atau novel-novel yang kebanyakan mengangkat kisah  hubungan antara laki-laki dan perempuan, dengan menempatkan perempuan sebagai tokoh utamanya, misalnya Cintapuccino karya Icha Rachmawati. Berbeda dengan tulisan sastra lainnya, sastra populer ini menjual romantisme dan ditargetkan untuk perempuan sehingga gaya bahasa yang digunakan, pada umumnya, mudah dipahami dan lebih hiburan semata.
Teknologi yang  terus berkembang di tengah-tengah kehidupan manusia membawa hampir seluruh aspek kehidupan tidak bisa terlepas dari keberadaan dan pengaruh teknologi. Teknologi telah menyentuh semua bagian dari kehidupan manusia, termasuk dalam dunia sastra. Teknologi yang semakin berkembang telah mempengaruhi kemunculan media sastra yang baru. Masyarakat Indonesia yang telah menyatukan keberadaannya di tengah-tengah kehidupan global pun tidak dapat memungkiri hadirnya teknologi di dalam dunia sastra. Komunitas sastra Indonesia memasuki dunia maya. Banyak karya para sastrawan dan sastrawati Indonesia yang tidak sempat atau memang tidak diterbitkan ke dalam buku tampil di dalam situs-situs di internet, baik yang dikelola pemerintah, organisasi nonprofit maupun situs pribadi. Hal inilah yang disebut dengan Sastra Cyber. Sastra Cyber telah membukakan mata dunia terhadap eksistensi karya-karya dan sastrawan-sastrawan Indonesia.
Selain itu, kebebasan mengungkapkan suara yang tidak bisa dilakukan pada masa Orde Baru, benar-benar dimanfaatkan oleh sejumlah sastrawan Indonesia ketika situasi politik sampai pada titik di mana segala aspek yang berkaitan di dalamnya harus benar-benar dibenahi. Pada Era Reformasi, sastrawan menyampaikan harapanm kritikan, cemoohan, dan isi hati mereka mengenai semangat juang masyarakat dan kekecewaan terhadap situasi sosial politik. Kebebasan bersuara ini juga mambebaskan sastra Indonesia untuk terus berkembang dalam perjalanannya yang selalu berkaitan dengan berbagai polemik, perdebatan, isu, dan sensasi yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Penerbitan-penerbitan karya sastra pasca-Reformasi tidak hanya memproduksi sastra pada masa itu sebab penerbitan karya sastra berbeda dengan penerbitan pers. Sastra membahas permasalahan yang terjadi dan dapat dijadikan cerminan dari masa ke masa serta dapat dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan ini. Jadi, buku-buku yang terbit pasca-Reformasi tidak hanya berasal dari naskah pada masa itu saja. Iklim penerbitan yang bebas setelah Reformasi telah membuka kemungkinan beragamnya penerbitan yang pada tahun sebelumnya sulit dibayangkan terjadi. Contohnya adalah terbitnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang sulit dibayangkan dapat terbit pada tahun-tahun sebelum Reformasi. Oleh karena itu, jika diperkirakan pengkajian sastra Indonesia masa depan akan semakin rumit, bukan hanya karena maraknya penerbitan melainkan karena beragamnya aspirasi dan aliran setelah Reformasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar