facing side is my favorite position when photographed

Kamis, 24 Februari 2011

CIRI-CIRI DRAMA INDONESIA DI ERA REFORMASI


Sebagai istilah, “drama” dan “teater” dipinjam dari khazanah kebudayaan Barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah ini adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani. Pada awalnya, di Yunani, “drama” maupun “teater” muncul dari rangkaian upacara keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap para dewa. Istilah “drama” yang dikemukakan oleh Drs. Boen S. Oemarjati (1971), pada masa Aeschylus (525-156 SM) –satu dari tiga penyair tragedi Yunani– sudah menyiratkan makna ‘peristiwa’, ‘karangan’, dan ‘risalah’. Sedangkan istilah “teater” yang berasal dari “théátron” yang juga merupakan turunan dari kata “theáomai” mengandung makna ‘dengan takjub melihat atau memandang’. Secara khusus lagi, pada masa Thucydès (471-395 SM) dan Plato (428-348 SM), “teater” juga dimaksudkan sebagai ‘gedung pertunjukan, panggung’, atau ‘publik auditorium’ pada zaman Herodotus (490-424 SM), dan ‘karangan tonil’, sebagaimana disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama (Wahyudi, 2006:99).
Ada juga yang menganggap bahwa teater dan drama ,secara substansial, kedua istilah itu berarti sama (Dahana, 2000: 3). Hal tersebut karena seni drama dan teater bukanlah jenis sastra yang murni (pure literature). Drama dapat dikaji dari dua aspek yaitu aspek literer (aspek sastra) dan aspek teateral (aspek teatrikalnya). Dengan kata lain, seni drama adalah seni kolektif, kompleks, multikonteks; tetapi ansambel, bulat, dan utuh (Satoto, 1986: 2).
Ciri khas penulisan naskah drama yang membedakannya dengan bentuk penulisan puisi dan prosa adalah dominasi dialog dan adanya petunjuk pemanggungan. Hal ini sesuai dengan batasan drama menurut Ibnu Wahyudi bahwa drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Selain didominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh (Budianta, 2006: 95).
Drama mulai tumbuh sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Hindia Belanda telah tumbuh seni pertunjukan berbahasa Melayu yang populer terutama di kota-kota besar yang umumnya dikenal sebagai Komedi Bangsawan atau Komedi Stambul atau Opera Bangsawan. Asal-usul seni pertunjukan itu tidak begitu jelas, tetapi menurut suatu pendapat berasal dari Tanah Melayu, dibawa oleh sutradara keliling yang berdarah Rusia. Teater ini bukan sejenis teater rakyat yang diciptakan oleh masyarakat untuk keperluan tertentu dan kemudian dianggap sebagai miliknya. Komedi Bangsawan adalah produk kebudayaan populer yang sejak pertengahan abad 19 masuk ke Hindia Belanda.
Pertunjukan atau ritual rakyat yang dulu berlangsung di tempat-tempat yang sangat luas spektrumnya, mulai dari pasar sampai kuil, sebagian berkembang menjadi berbagai jenis teater yang memerlukan tempat khusus untuk mementaskannya. Pengaruh drama Barat masuk sejak akhir abad 19, mula-mula dalam bentuk penulisan naskah yang dipentaskan untuk berbagai kepentingan sosial. Dalam perkembangan tahap ini, dua jalur perkembangan pun muncul, yang pertama tiruan belaka dari seni pertunjukan yang dikenal sebagai Komedi Stambul, yang kedua merupakan usaha beberapa kalangan untuk menyerap pengaruh teater Eropa yang pada masa itu mengembangkan realisme.
Pada perempat abad 20, Kwee Tek Hoay, mencoba mengembangkan realisme yang meneladani Ibsen, drama yang mengandalkan naskah. Drama pun mulai berkembang, yang khas pada perkembangannya di Indonesia adalah bahwa berbagai jenis kecenderungan masuk bersama-sama. Kwee Tek Hoay dan Wiggers mengembangkan gaya realis dalam drama, mereka adalah wartawan. Itu mungkin sebabnya, drama-drama yang mereka tulis mengungkapkan berbagai masalah yang berkaitan dengan perubahan sosial dengan gaya realis. Sementara itu, intelektual muda pribumi mengembangkan gaya penulisan romantik untuk menyampaikan idealisme dalam rangka bangkitnya rasa kebangsaan.
Pergolakan pertama drama Indonesia terjadi pada tahun 1920-an, yang kemudian disusul dengan kecenderungan yang semakin kuat untuk mengungkapkan idealisme dengan simbol-simbol. Sepanjang tahun 1930-an, para dramawan pribumi kita umumnya adalah sastrawan yang tidak begitu akrab dengan seni pertunjukan sehingga naskah-naskahnya bisa digolongkan ke dalam drama kamar. Perkembangan itu praktis berubah ke arah lain ketika pada awal tahun 1940. Sensor yang sangat ketat dari pemerintahan militer Jepang menyebabkan dramawan Indonesia tidak bisa berbuat lain kecuali mematuhinya dengan menghasilkan sejumlah drama yang dianggap bisa menyebarluaskan gagasan dari Asia Timur Raya. Karya Umar Ismail, dramawan utama Indonesia tahun 1940-an, merupakan tonggak penting dalam perkembangan drama kita. Sesudah proklamasi kemerdekaan, tumbuh euforia kebebasan yang mendukung tumbuhnya dramawan kita terhadap nasib kaum lemah dan rakyat kecil.
Kecenderungan yang ada pada awal 1950-an, disebabkan oleh kondisi sosial yang buruk sebagai akibat revolusi yang mau tidak mau memaksakan perubahan sosial politik yang mendadak dan mendasar. Pada masa itu, muncul drama-drama yang ditulis oleh Utuy Tatang Sontani, yang sebagian besar mengungkap kehidupan rakyat kecil dan segala masalahnya. Di samping itu ia juga memanfaatkan cerita rakyat sebagai sumber dramanya. Pada awal tahun 1960-an, panggung pertunjukan dimuati dengan gagasan mengenai modernisasi yang tidak jarang diselewengkan kekecenderungan politik tertentu. Yang kemudian terjadi pada masa sesudahnya adalah masuknya pengaruh jenis baru drama Barat yang di negeri asalnya berkembang sejak tahun1940-an, yakni drama eksistensialis dan absurd. Dalam perkembangannya, kecenderungan itu dikenal sebagai eksistensialisme suatu istilah yang bisa saja dipertanyakan karena tidak pernah secara jernih disampaikan oleh para pendukungnya di Indonesia. Sejak tahun 1960-an, drama berkembang dengan baik melaui penerjemahan yang menunjukan kualitas dan gaya yang berbeda-beda.
Dalam perkembangan drama, Rendra boleh dikatakan menjadi tokoh utama yang menggerakkan arah drama kita lewat sejumlah terjemahan dan pementasannya. Pementasan Rendra yang menggunakan naskah Samuel Beckett, Menunggu Godot, mempunyai dampak luar biasa terhadap perkembangan drama Indonesia sejak tahun 1970-an.
Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa perkembangan drama sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik. Dalam masa akhir abad ke 20, ketika pemerintahan Soeharto disingkirkan muncul drama-drama sosial dan protes yang tidak berbeda dalam hal gaya dan tema. Namun, Ratna Sarumpaet berhasil mengusung tema baru dalam dunia drama Indonesia yaitu mengenai perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini terlihat dari dua karyanya yaitu Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1993) dan sebuah monolog yang berjudul Marsinah Menggugat (1997).
Selain itu, reformasi yang puncaknya adalah peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998 diangkat oleh Seno Gumira Ajidarma melalui tiga buah naskah drama yaitu Tumirah: Sang Mucikari (1998), Mengapa Kau Culik Anak Kami (1999), dan Jakarta 2039 (2000). Ia melukiskan kekejaman politik dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Dalam naskah drama Jakarta 2039 merupakan gabungan dari dua cerpennya yaitu Clara dan Jakarta suatu Ketika. 
Demikianlah drama di Indonesia dan tentunya dimanapun selalu erat kaitannya dengan perubahan sosial, dan drama yang baik serta mampu bertahan lama tentulah yang berhasil mengangkat inti gejala itu dan kemudian menyampaikannya.


DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra. Magelang: IndonesiaTera.
Dahana, Radhar Panca. 2000. Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia. Magelang: IndonesiaTera.
Dipayana, Ags. Arya (peny.). 2005. Tiga Naskah Drama: Hasil Lokakarya Perempuan Penulis Naskah Drama. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Eneste, Pamusuk (Ed.). 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Riantiarno, Nano. 2001. Republik Bagong: Sandiwara Teater Koma. Yogyakarta: Galang Press.
Rumadi, A. (Ed.). 2004. Kumpulan Drama Remaja. Jakarta: Grasindo.
Santosa, Dwi Klik (ed.). 2005. 70 Tahun Rendra: Hadir dan Mengalir. Jakarta: Burung Merak Press.
Satoto, Soediro. 1986. Pengkajian Drama II. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Sylado, Remy. 2001. Siau Ling. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Tambajong, Japi. 1981. Dasar-dasar Dramaturgi. Bandung: Pustaka Prima.
Waridi, dan Bambang Murtiyoso (ed.). 2005. Seni Pertunjukan Indoesia: Menimbang Pendekatan Emik Nusantara. Surakarta: Program Pendidikan Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
Endarmoko, Eko, dan Sonya Sondakh (peny.). 2006. Antologi Drama Indonesia: Jilid 4: 1969--2000. Jakarta: Amanah Lontar.
Ajidarma, Seno Gumira. 2001. Mengapa Kau Culik Anak Kami?. Yogyakarta: Galang Press.
NN. 2007. biodata dramawan dalam www.tamanismailmarzuki.com. Tanggal 3 Desember.
NN. 2007. Sastrawan di Indonesia dalam www.jadul.blogspot.com. Tanggal 3 Desember.
NN. 2007. biodata dramawan dalam www.wikipedia.com. Tanggal 3 Desember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar